DEKULTURALISASI POLITIK TRANSAKSIONAL
Perlu
disadari kembali bahwa bentuk pemerintahan Negara indonesia menganut demokrasi
pancasila. Dimana dalam kacamata politik dapat dikatakan kalau pola pemilihan
dilakukan secara musyawarah ( syuraa)
yang semestinya masyarakat berhak dan mempunyai kewajiban untuk memilih
pemimpinnya dengan baik dan jujur serta murni pilihan hati nuraninya secara
penuh, pemilihan diputuskan berdasarkan suara bersama, dan kebebasan dalam
memilih diberikan pada rakyat tanpa intervensi dan manipulasi. Demokrasi dan civil society merupakan dua entitas yang korelatif.
Berdasarkan pengertian empiris, yang dimaksud demokrasi disini adalah corak
hubungan antara mereka yang memerintah dan yang diperintah, antara negara
dengan rakyat. Sebuah hubungan yang dibentuk atas dasar pergantian kekuasaan
politik yang berdasarkan mayoritas suara dalam pemilihan umum yang dilahirkan
oleh ekspresi demokratis, bebas, dalam kancah kompetisi kepartaian di tengah
suasana penghormatan terhadap hak-hak
warga negara, khususnya hak-hak politik. (Al Jabiri, 2002:233).
Namun dalam prakteknya yang terjadi justru tidak
seperti yang di idam-idamkan bersama, maka jika diibaratkan dengan seorang yang
ada didalam kamar lalu membuka jendela, saat yang bersamaan selain kita dapat
menghirup udara segar dan bebas namun justru dari udara tersebut banyak debu
yang menghinggap dan bahkan berbagai aneka udara tidak sedap yang terhirup oleh
kita, artinya dengan konsep demokrasi yang sudah kita hirup dan laksanakan
sekurang-kurangnya 68 tahun lamanya sampai sekarang bukan hanya kebebasan memilih dan ikut serta
langsung dalam pemilihan pemimpin secara musyawarah, debu dan udara tidak sedappun kita rasakan yakni
familiarnya pilihan rakyat yang dinegosiasi dan diperjual belikan.
Secara garis besar pilihan yang dilakukan secara
transaksional semacam ini telah mencederai konsep demokrasi, serta
menghilangkan asas kebebasan dalam memilih. Berdasarkan dari survey yang
dilakukan oleh Polling Center sebanyak 33,5 persen responden menyatakan pernah
melakukan praktik pemiilihan secara transaksional ( pembelian suara pilihan ),
dan tercatat 23,1 persen responden yang turut juga bersedia akan memberikan suara pilihan pada calon yang
bersedia membeli suara pilihannya dengan uang atau barang, dan 38,3 persen responden tersisa untuk
memberikan suara pilihannya dengan sesuai hati nurani, serta yang cukup menarik
21,1 persen responden mengatakan akan melaporkan dan menghukum seorang calon
yang hendak membeli suaranya (KOMPAS,2013;8). Tentu ini harus menjadi catatan
penting bagi DKPP (dewan kehormatan penyelenggara pemilu) untuk mengembalikan pemilihan demokratis yang
didengung-dengungkan dari dulu serta menjadi penyelamat akan terulangnya praktek
politik money yang semakin
menjadi-jadi di negri ini, apalagi di Indonesia bukan hanya beribi-ribu jiwa
melainkan berjuta-juta jiwa yang mempunyai hak pilih yang telah di rekapitulasi
dalam bentuk DPT ( data pemilih tetap), namun jika fakta, data dan realita
menunjukkan lebih dari 50 persen responden yang akan melakukan dan bersedia
menegosiasikan pilihannaya tentu ini sangat tragis karna harus melampui dari
separuh pemilih murni yang telah ditetapkan, dan juga tentu menjadi suatu hal
yang sangat tragis dinegri ini.
Mungkin ada baiknya jikalau sama-sama flashback
kebelakang implikatif konsep demokrasi yang berlangsung tahun
kemarin-kemarinnya. dari berbagai fakta dan data menyebut ada ketidakberesan pada
demokratisasi yang berlangsung di Indonesia, itu dapat dibuktikan dengan adanya
pemilihan secara transaksional (politik
money), bercampurnya antara kepentingan pribadi dengan politik,
berhasratnya seorang calon pemimpin untuk menjadi penguasa meskipun secara
kualitas dan elektabilitas jauh dari kemampun standard idealitas kepemimpinan,
kekuatan untuk menjadi penguasa bertumpu pada kekayaan, bukan integritas,
sehingga kekuasaan adalah patrol utama yang dikejar bukan lagi untuk
memperdayakan masyarakat, namun memper kaya diri sendiri. Oleh karena itu Robert. D. Putnam, mengemukakan ada dua konsepsi
berbeda tentang kekuasaan yang dianut dalam ilmu sosial maupun bahasa awam :
(1) kekuasaan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi individu-individu lain, dan
(2) kekuasaan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi pembuatan keputusan kolektif
(M.Mas’oed & C MacAndrews-ed, 2000:80).
Maka benarlah
jika dikatakan ada seorang calon pemimpin yang nekat bunuh diri karna kalah dalam pemilu,
perselisihan antar kelompok parpol, serta masih banyak kejadian-kejadian tragis
yang disebabkan pesta demokrasi yang salah dalam pengaplikasiannya, dalam
harian kompas hal.15, 19-des-2013 dikatakan “ ada beberapa pilkada tahun ini
yang berujung kerusuhan dengan membawa korban jiwa dan harta benda menururt
data dalam negri sejak pilkada 2005 samapai sekarang lebih dari 50 orang tewas
akibat aksi yang mengarah ke tindakan anarkis terkait pilkada “. Jadi, praktik demokrasi di Indonesia selama 15
tahun terakhir pasca revormasi setelah lengsernya jenderal besar soeharto telah
menghasilkan kebebasan berpendapat dan memilih, namun apakah benar seperti ini
tujuan yang diinginkan dalam mengaplikasikan demokrasi sebagai kebebasan dalam
memilih? Kesenjangan social kian parah, solidaritas sesama semakin terkikis,
serta pertentangan antar sector semakin berlanjut.
Seiring dari konsep demokrasi yang berjalan selama
ini menimbulkan dua masalah dengan muka baru yang cukup serius. Pertama, solidaritas kebangsaan yang
tidak terukur yang harusnya menciptakan toleransi dan kebebasan personal dalam
memilih justru berubah menjadi arus pertentangan dan kesenjangan. Kedua, demokrasi sebagai bentuk
pemerintahan berubah menjadi wadah baru yang menciptakan ruang ideology yang
tidak terkontrol dan menjadi konflik social yang baru dalam mempertahankan
kepentingan, dan tujuan yang diinginkan kelompok tertentu. Maka dari itu,
mungkin juga tidak harus menyalahkan konsep demokrasi yang digagas para
pemimpin dahulu, namun setidaknya fenomena-fenomena seperti kemarin-kemarin
yang telah lalu ini menjadi bahan evaluasi bersama demi tegaknya kedaulatan
bersama sebagai cita-cita bangsa ini.
Tidak boleh naïf lagi dengan menafikan berbagai
problem diatas, dan hal tersebut tidak boleh terus-menerus dibudi dayakan
mengingat pentingnya untuk mengembalikan pemilihan secara jujur, adil, bebas
dan benar-benar pilihan hati nurani, karna dengan begitu akan tercipta suatu
keharmonisan dalam masyarakat umum tanpa mencampuri masyarakat pada kepentingan
kelompok, apalagi kepentingan pribadi sebagai penguasa yang hanya ingin menjadi
penguasa atau bahkan hanya ingin meraup ekonomi dari adanya sebuah kekuasaan.
Pemimpin yang mempunyai visi yang jelas mempedulikan rakyat, mempunyai
integritas dan memilik watak kepemimpinan yang dapat merangkul semua golongan
tanpa ada perbedaan adalah cita-cita bersama untuk membangun Indonesia yang
benar-benar sejahtera, makmur dan berkeadilan social tanpa pandang bulu. Pesta
demokrasi bukan ajang kompetisi meraih kemenangan melainkan kompetisi menuju
bangsa yang sejahtera, makmur serta peradilan yang semakin baik agar sejalan
dengan harapan para pejuang dalam mempertahankan bangsa dari para penjajah yang
jelas-jelas tidak memberikan kesejahteraan pada rakyat, kalau perebutan
kekuasaan yang hanya berorietasi untuk mencapai kemenangan dan tidak
berkepedulian pada rakyat, apa bedanya mereka dengan para penjajah yang hanya
mementingkan kepentingannya?
Dekulturalisasi
dalam sebuah pemahaman yang umum mempunyai arti menghapus budaya.
Dekulturalisasi yang merupakan bahasa adopsi dari bahasa inggris berasal dari
kata culture yang berarti “budaya”
dan direduksi ke dalam bahasa Indonesia dengan makna yang sama, hanya saja
dalam pengucapannya lebih populer kultur terutama dikalangan akademisi,
mahasiswa, politisi dan segelintir orang yang berpengetahuan. Kultur yang berawalan
de mempunyai makna penghapusan atau
menghentikan, maka dapat diartikan dekulturalisasi adalah menghentikan budaya
yang berlangsung, atau penghapusan kultur(budaya). Sedangkan politik transaksional.
Sebagaimana umumnya istilah transaksi yang sering dipakai untuk mengganti
penggunaan kata tukar-menukar atau jual-beli yang terjadi di pasar-pasar dan
sebagainya, maka dekulturalisasi politik
transaksional dapat dipahami adalah sebuah upaya untuk menghapus atau
menghentikan politik yang diperjual-belikan, ditukar dengan suatu barang atau
dalam bahasa politisnya politik dagang sapi.
Dalam upaya untuk mendekulturalisasi politik
transaksional seperti yang telah dijabarkan diatas bahwa semangat yang
ditekankan bukan harus untuk menghentikan dan membuang suatu kebiasaan yang
telah membudibudaya, melainkan bagaimana kebiasaan atau budaya yang berlangsung
ini tidak terus menerus terjadi, semangat
pertama, adalah untuk menghentikan keberlangsungan politik transaksional
ini di masyarakat semakin tidak terbendung, dengan tidak secara langsung
melainkan secara sedikit demi sedikit, dan terus dilakukan sehingga akhirnya
terhapus dengan sendirinya. Hal ini sejalan dengan teori lahirnya suatu budaya.
Yang mana budaya itu berawal dari suatu kebiasaan dari seseorang, dan karna
dinilai baik maka diikuti sama yang sekitarnya, dan sekitarnya lagi mengikuti,
dan terus diikuti oleh sekitarnya lagi sehingga akhirnya menjadi suatu budaya (
juhaya s. praja,2006:75)., dalam hal budaya politik transaksional yang semakin
familiyar di Indonesia, semangat untuk mendatangkan kebiasaan baru, menciptakan
sebuah budaya baru, dengan harapan akhirnya dapat menghapus serta mengganti
budaya yang lama, tidak cukup hanya satu atau dua orang yang berperan
didalamnya.
Momen tahun yang dikatakan tahun politik kali ini
harus menjadi titik balik dari kesejahteraan bangsa ini dengan mengembalikan
praktek demokrasi pada dataran umum khususnya pemilihan pemimpin. Tidak lain dengan
memberikan pemahaman politik/ pendidikan politik pada masyarakat, memberikan
penyadaran akan bahayanya praktek money
politik dan sudah cukup proses tawar
menawar pembelian dengan adanya transaksi yang dijalankan dimasyarakat
sebelum-sebelumnya, karena tujuan dari demokrasi bukan untuk mencari pemenang,
penguasa atau dengan terpilihnya pemimpin saja, jauh dari itu kedaulatan rakyat
dan keadilan sosial serta kesejahteraan yang merata adalah tujuan dari
demokrasi sendiri. Para ilmuwan politik mengidentifikasikan fungsi tersebut
diatas sebagai fungsi komunikasi politik, artikulasi politik, dan sosialisasi
politik. Partai politik yang
merupakan embrio demokrasi perwakilan modern, serta mahasiswa idealis yang rindu akan perubahan
kesejahteraan harus berperan aktif ditengah-tengah masyarakat.
DKPP
(dewan kehormatan penyelenggara pemilu) harus bertindak lebih tegas lagi, KPU
dan sebagainya juga harus memperhatikan berbagai problem yang terjadi agar
tidak semakin menjamur dan benar-benar membudi daya, kalau KPK berhasil
mengupas habis-habisan para koruptor dengan penyelidikan heroicnya, maka semua
aspek penyelenggara dan yang terlibat dalam politik secara umum harus menjadi
pahlawan dan bahu-membahu untuk menghentikan korupsi para pemimpin dengan cara
menghentikan budaya pembelian suara atau yang sering disebut dengan money politik, agar sosok pemimpin yang benar-benar punya integritas dan
visi yang jelas berketergantungan serta peduli pada rakyat dapat
mentransformasikan demokrasi secara total dan benar. karna KPK tidak akan
mungkin dapat menghentikan para pemimpin untuk korupsi melainkan hanya untuk
menyelidiki dan menemukan para pelaku korupsi, maka untuk yang menghentikaanya
adalah tugas kita dengan memberiikan pemahaman secara menyeluruh pada rakyat
tentang politik, lenih-lebih untuk mengantisipasi agar tidak lagi ada money politik yang berjalan negosiasi antara pembelidan penjual .
.Semua
elemen diharapkan untuk satu persepsi dalam upaya menyadarkan masyarakat. Jika
masyarakat secara umum menjadi objek penyadaran akan politik yang benar
khususnya masyarakat awam, maka perangkat yang harus berperan didalamnya harus
menjadi sebagai motor penggerak atau sebagai transformator suatu perubahan, sebut saja orang yang dapat
berpengaruh dalam penyadaran tersebut seperti : mahasiswa, tokoh masyarakat,
politisi dan sebagainya memainkan perannya. Karena sangat terasa penting untuk memberikan pemahaman
politik yang benar pada masyarakat, dengan mencoba mengajak serta memulai untuk
memberikan contoh memilih pemimpin yang benar, memberikan pemahaman yang
idealis dan bagaimana berpolitik yang benar serta menunjukkan pemimpin yang
benar-benar mempunyai integritas dan visi yang jelas bergantung serta mementingkan
kepentingan rakyat (hasil wawancarac
dengan H. Eko salhsatu angota DPRD
Banyuangi). Khoiruz.
Kirim Komentar