DEMOKRASI SEJATI VERSUS POLITIK DAGANG SAPI


Oleh : Ahmad Dasuki[1]
Diskursus demokrasi di Indonesia, dalam perkembangannya tidak terlepas dari gagasan-gagasanthe founding fatheryang menghendaki demokrasi sebagai pilihan untuk penyelenggaran pemerintahan. Baik Soekarno, Moh. Hatta, Agus Salim Maupun Muhamad Yamin, gagasan-gagasannya tersebar dalam beberapa tulisan yang telah di buatnya.Soekarno dalam tulisannya di majalah Pikiran Rakyat telah meletakkan sendi-sendi pemikiran mengenai negara nasional yang bersifat demokratis bagi Indonesia yang berdaulat dikemudian hari. Dalam salah satu tulisannya, Soekarno mengemukakan bahwa demokrasi yang dicita-citakannya adalah suatu sistem demokrasi yang tidak saja bersifat politis sekuler seperti di Barat, melainkan juga mencakup aspek lain seperti ekonomi. Untuk maksud tersebut Soekarno menggunakan istilah sosio-demokrasi, yaitu demokrasi politik dan demokrasi ekonomi.
Dalam pidato pada tanggal 1 Juni 1945 Ir. Soekarno Mengatakan:
“Saudara-saudara, saya usulkan. Kalau kita mencari demokrasi hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek-ecconomische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial! Rakyat Indonesia lama bicara tentang ini…saudara-saudara, badan permusyawaratan yangkita akan buat hendaknya bukan badan permusyawaratan politik democratie saja, tetap aibadanyang bersama dengan masyarakat dapat mewujudkan dua prinsip: Politieke rechtvaardigheid dan sociale rechtvaardigheid……saya ulangi lagi, segala hal akan kita selesaikan, segala hal! Juga di dalam urusan kepala negara, sayaterus terang, saya tidak akan memilih monarchie. Apa sebab? Oleh karena monarchie “Vooronderstelt Ertelijheid”, turun temurun….maka saya minta supaya tiap-tiap kepala negara pun dipilih”….

Kepincangan demokrasi parlementer Barat menurut Ir. Soekarno di lapangan politik rakyat adalah raja, tetapi dilapangan ekonomi tetaplah rakyat sebagai budak. Parlemen boleh mengambil putusan apa saja, parlemen boleh memutuskan sapi menjadi kuda, tetapi parlemen tidak boleh mengaru biru milik pribadi. Milik pribadi itu harus tetap dijungjung tinggi sebagaisatu pusaka yang sakral.[2]
Dalam tulisannya pada media Daulat Rakyat yang berjudul “demokrasi Asli Indonesia dan Kedaulatan Rakyat”, Moh. Hatta, mengemukakan bahwa di dalam cita-cita rapat dan cita-cita rakyat protes dapat dibangun demokrasi politik, sedangkan di dalam cita-cita tolong menolong bisa menjadi dasar demokrasi ekonomi. Mengenai hal ini, Hatta lain mengatakan:
“Diatas sendi yang pertama dan kedua, dapat didirikan tiang-tiang politik dari pada demokrasi yang sebenarnya satu pemerintahan negeri yang dilakukan oleh rakyat dengan perantaraan wakil-wakilnya atau badan-badan perwakilan, sedangkan yang menjalankan kekuasaan pemerintahan takluk kepada kemauan rakyat. Untuk menyusun kemauan itu rakyat mempunyai hak yang tidak boleh dihilangkan atau dibatalkan; hak merdeka bersuara, berserikat dan berkumpul[3].
lebih lanjut dikatakan Hatta:
“Di atas sendi yang ketiga dapat didirikan tonggak demokrasi ekonomi. Tidak lagi orang seorang atau satu golongan kecil yang mesti menguasai penghidupan orangbanyak seperti sekarang, melainkan keperluan dan kemauan rakyat yang banyak harus menjadi pedoman perusahaan dan penghasilan. Sebab itu tangkai penghasilan besar yang mengenai penghidupan rakyat harus berdasar kepada milik bersama dan terletak di bawah penjagaan rakyat dengan perantaraan badan- badan perwakilannya.[4]

Apabila dicermati dengan seksama, Hatta sesungguhnya tidak menolak sistem demoklrasi Parlementer seperti Soekarno. Sebaliknya Hatta menghendaki suatu demokrasi dimana rakyat memiliki kedaulatan penuh dan itu hanya bisa berkembang di dalam sistem parlementer. Selain itu, yang ditolak oleh Hatta pada Demokrasi barat adalah asas individualisme yang berlebihan, sehingga tidak ada lagi perlindungan bagi kemilikan bersama.
Berbagai visi yang sampaikan oleh dua tokoh pendiri Republik tersebut, menegaskan bahwa paham demokrasi hendak diletakan dalam pondasi Negara ini.Persamaan itu nampak dari pemahaman mereka tentang demokrasi sebagai sistem politik, juga sistem ekonomi.
Demokrasi sebagai sistem politik dan sistem ekonomi sejatinya bersumber dariruh rakyat, oleh rakyat untuk rakyat, namun praktek sistem demokrasi Akhir-akhir ini dikontaminasi oleh kosa kata baru dalam kamus modern politik Indonesia yaitu “politik dagang sapi”. demokrasi tidak lagi menjelma menjadi kekuatan rakyat yang sesungguhnya,sistem yang sejatinya mampu mengakumulasi seluruh kepentingan rakyat, sebaliknya demokrasi berubah menjadi sistem politik pasar bebas dengan mikanisme monopoli komuditas yaitu kepentingan-kepentingan ideologis murahan. inilah kemudian yang mewarnai perjalan demokrasi dimana kekuatan uang menggantikan kekuatan nurani rakyat yang sebenarnya. begitu mudahnya membarter kedaulatan diri dengan sesuap nasi, alhasil kedaulatan rakyat hanyalah imajinasi kata-kata yang tak pernah hadir dalam realita.
Selama ini, pengemis dan Pelacur dalam kamus sosial disebut "sampah masyarakat" yang selalu di cap miring. Dalam politikpun juga demikian, Pengemis dan pelacur adalah korban kebijakan karena mereka dimiskinkan secara struktural oleh penguasa yang lalim, akses ekonomi yang tidak egaliter telah mencerabut urat nadi mereka dari habitusnya, sehingga ia tidak berdaya-apa-apa selain menjadi sampah pembangunan. Inilah takdir yang sengaja diberikan oleh para penguasa dengan kebijakan-kebijakan politiknya.
Selamatkan diri anda, keluarga, anak-anak anda, dari penyakit "pengemis dan pelacur" di dunia politik. Pengemis hanyalah peminta, bukan pemberi aktif, tidak produktif, bisa dikatakan parasit. Pelacur adalah orang yang melakukan sesuatu karena demi upah (Kapital), bukan melakukan sesuatu karena pilihan dan kesadaran/keinginannya sendiri.Bisa saja ia mengaku itu sesuai keinginanya, sebelumnya pasti ada kontradiksi dengan hati nuraninya. Karena kondisi yang tak bisa dihadapi yang menentang hati nuraninya gak diurai, gak bisa ditolak, akhirnya ia merasa itu adalah pilihannya. Akhirnya jadi budaya ketertindasan, budaya pelacuran yang tak disadari akhirnya menuju alinasi diri yang menyakitkan.
Budaya pengemis dan pelacuran semakin menyeruak di tahun 1990-an, rakyat menolak jadi pelacur dan ditindas Suharto. Mahasiswa menolak pelacur-pelacur politik ala rezim Soeharto. Sejak Soeharto lengser, masih banyak suara-suara penolakan terhadap Pelacur-pelacur reformasi.
Pemilu 1999, isu tolak money politik menggemparkan media, money politik menjadi wacana di kalangan aktivis dan juga penyelenggara pemilu. Bagi yang mengikuti budaya massa dan budaya politik sejak saat itu, tentu tahu kenapa semakin hari isu anti money politik seperti jadi bahan tertawaan seperti sekarang ini. Hegemoni Kekuasaan baik ekonomi, sosial, politik, tampaknya justru mendidik rakyat untuk bicara"wani piro" dan tongkat (Seratus Ribu). Anda tahu, ucapan "wani piro" awalnya diucapkan dengan nada melecehkan diri sendiri yang telah menggadaikan harga diri. Kemudian "wani piro" menjadi hal yang membudaya dikalangan masyarakat kita. Wani piro telah mereduksi tatanan nilai demokrasi, dimana rakyat dengan mudahnya menggadaikan harga dirinya demi uang, baju dan beras.
Konstruksi budaya politik yang sehat ditenggelamkan oleh para elit-elit politik yang menghalalkan semua cara untuk mendulang kepentingan personal yang sebesar-besarnya, maka perjalanan demokrasi terseok-seok kelembah kehancuran. Tidakkah para pemerhati budaya tertarik dengan kondisi ini? Jika budaya seperti iniyang akan menghancurkan negerikita, bukankah kita harus membikin conter-culture atau setidaknya mengawal lagi wacana anti-politik uang pada saat ini.
Pemilu 2009, Anti Korupsi menjadi isu sentral yang menghiasi iklan politik diberbagai media, partai politik berlomba-lomba mendagangkan wacana anti korupsi kepada seluruh masyarakat Indonesia, wacana inipun berhasil meraup suara dan partisipasi politik masyarakat yang sangat besar. Namun wacana anti kurupsi pelan tapi pasti telah merubah mesin politik manjadi pengeruk uang negara yang sebesar-besarnya, pedagang-pedagang iklan Anti korupsi telah membawa spektrum baru atas wacana “Politik Transaksional” wajah baru politik Kita menjadi wajah pasar bursa politik dan Uang. Mesin politik menjadi kran untuk mengalirkan uang sebanyak mungkin ke para petinggi-petinggi partai berkuasa dan berokrat, Alhasil produk pemilu 2009 adalah para perampok-perampok uang negara.
Fenomena pemilu diatas harus menjadi cermin untuk menghadapi pemilu pada 9 april 2014 nanti, politik dagang sapi harus ditolak dan dikembalikan pada habitusnya. Jalan demokrasi sejati harus diteggakkan agar kita memiliki Wakil-wakil rakyat yang memiliki kridibilitas serta akuntabilitas yang tinggi. Tentunya hal ini akan terjadi bila mana rakyat dengan Calon-calon wakil rakyat (Caleg) tidak bermain-main dengan politik dagang sapi, karena jika hal ini terjadi, 5 menit dibilik suara akan menghancurkan harapan selama 5 tahun.
Semua pihak harus bersepakat untuk menciptakan pemilu yang bersih dari praktik politik dagang sapi, karena bila dibiarkan budaya ini berkembang, mustahil bangsa ini akan bangkit menjadi bangsa yang maju, Sebaliknya bangsa ini akan menjadi bangsa yang gagal. 9 april 2014 nanti merupakan momentum yang tepat untuk berbuat yang lebih baik buat bangsa ini, “Kalau bukan sekarang kapan lagi dan kalau bukan kita siapa lagi” inilah yang harus kita lakukan untuk membenahi bangsa yang carut marut akibat suburnya praktek politik dagang sapi.
Pemilu 9 April 2014 amat sangat menentukan perjalanan demokrasi, oleh sebab itu rakyat harus terbuka cakrawala pemikirannya bahwa rakyat harus menjadi pemilih cerdas yang tidak hanya memilih berdasarkan emosionalitas, namun menjadi pemilih berdasarkan rasionalitas. Sudah saatnya membuang para sampah-sampah politik dan politisi busuk yang tidak bermanfaat pada rakyat kecil. Nalar politik yang sehat harus digunakan agar tidak ada lagi dusta penguasa pada rakyatnya, karena itu masyarakat harus bangkit melawan para pelacur-pelacur politik demi tegaknya demokrasi sejati dibumi pertiwi.




[1]Pembina Muda IKMPB yang selama ini ikut menggawangi gerakan-gerakan perlawanan massa 
[2]Soekarno,DiBawah Bendera Revolusi,Jilid Pertama, Panitia Penerbit dibawah Bendera Revolusi, Jakarta, (1963 : 386).
[3]Mohammad Hatta, Demokrasi Asli Indonesia dan Kedaulatan Rakyat, Dalam Daulat Rakyat, No.12, 10 Januari 1932.
[4]Mohammad Hatta, Demokrasi Asli Indonesia dan Kedaulatan Rakyat,Dalam Daulat Rakyat, No.12,10Januari 1932
Diberdayakan oleh Blogger.