LUNTURNYA KEPERCAYAAN MASYARAKAT, LAHIRKAN PRAKTEK MONEY POLITIK
Jember
Kritis Minggu, 30 Maret 2014. Kesadaran masyarakat dalam memilih pemimpin sesuai
hati nurani menjadi salah satu kunci utama untuk menyukseskan pelaksanaan
pemilu pada tahun ini. Disebabkan pemilu yang sukses menjadi salah satu tolak
ukur tegaknya demokrasi pada pemilu legislatif yang akan dilaksanakan pada 09
April 2014 mendatang. Akan tetapi, hari ini kesadaran masyarakat untuk
menggunakan haknya dalam memilih telah dicederai oleh lunturnya kepercayaan
mereka terhadap politik. Dengan demikian, hal itu mendorong masyarakat untuk
melakukan praktek politik traksaksional atau biasa disebut dengan money politik
dan politik dagang sapi.
Praktek
money politik harus dihentikan karena hal itu telah merusak pola pikir
masyarakat sehingga mereka bersikap pragmatis. “Ini jangan sampai ada karena
hal itu mencederai demokrasi dan hal itu mendidik masyarakat menjadi masyarakat
yang tidak baik karena satu kali menentukan nasib 5 tahun.” Ujar bapak haji Eko
selaku ketua Komisi I DPRD Banyuwangi. Demokrasi telah memberikan hak
sepenuhnya kepada masyarakat untuk memilih secara langsung pemimpin yang
dianggap layak dan pantas untuk memimpin dan mejadi wakilnya dalam lima tahun
ke depan. Akan tetapi, dengan adanya praktek money politik maka masyarakat maupun
para calon legislatif dan eksekutif akan memandang bahwa pemilu adalah sebagai
ajang proses transaksi kekuasaan. Oleh karena itu, praktek politik yang
demikian telah merusak dan mencederai demokrasi.
Berdasarkan
keterangannya saat ditemui oleh wartawan kritis, bapak haji Eko menambahkan
bahwa kecenderungan masyarakat dalam melakukan prakatek money politik merupakan
salah satu dari tiga tipe masyarakat dalam berpolitik. Menurutnya, terdapat
tiga klasifikasi dalam memaknai tipe-tipe masyarakat dalam berpolitik.
Diantaranya adalah petama, masyarakat pragmatis. Dalam tipe ini
masyarakat cenderung menggunakan momentuk pemilu sebagai proses transaksi
kekuasaan. kedua, masyarakat idealis. Masyarakat dalam tipe ini memang
benar-benar sadar bahwa dirinya harus memilih dan menentukan figur-figur terbaik
sebagai wakilnya dalam lima tahun ke depan. Ketiga, masyarakat apatis.
Masyarakat yang bersikap acuh tak acuh dan tidak peduli dengan hak pilihnya
dalam menentukan pemimpin masa depan.
Ada
dua faktor yang telah mendorong masyarakat dalam berpolitik transaksional. Pertama,
kepercayaan masyarakat terhadap politik telah luntur. “Karena calon yang
dipilih yang akhirnya duduk sebagai legislator itu tidak bisa melayani
sepenuhnya keinginan konstituen. Jadi masyarakat memandangnya ngambil enaknya
sendiri.” Ujar bapak Mahsun selaku anggota komisioner KPU saat ditemui wartawan
Kritis di kediamannya. Mayarakat tidak percaya lagi karena para calon hanya
bisa melontarkan janji-janji dan ketika sudah berhasil memenangi pemilu dan
duduk di kursi dewan, mereka malah lupa terhadap janji-janjinya dan mengabaikan
kepentingan masyarakat yang telah memilihnya. Kedua, masyarakat sudah
mulai pragmatis. “Masyarakat berfikir, masak saya yang ngasik suara dia yang
dapat bayaran?” Tambah bapak yang diklaim sebagai kader dan penggagas lahirnya
PMII di Bondowoso ini. Masyarakat berpadangan bahwa memilih atau tidak sama
saja karena hal itu tidak akan mengubah keadaan mereka. Seorang petani ketika
memilih seorang calon tidak akan meningkatkan hasil panennya. Begitu juga
pedagang-pedagang kecil, dengan memilih tidak akan meningkatkan omset atau
penghasilan mereka. Pandangan itu muncul karena memang kepercayaan masyarakat
terhadap politik sudah mulai luntur. (anw)
Kirim Komentar