Jayalah Negriku Bangkitlah Pesantrenku


IKMPB OPINI : Seringkali kita mendengar maqolah ulama yang berbunyi حب الوطان من لايمان  yang berarti cinta tanah air sebagian dari iman. Mungkin akan timbul banyak pertanyaan di benak kita mengenai apa maksud dari maqolah tersebut? Dan bagaimana aktualisasi atau implementasi dari Maqolah tersebut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara? Ya, Resolusi Jihad NU yang dicetuskan oleh Nahdlatul Ulama pada 22 Oktober 1945 yang dimana resolusi itubelum dicabut dan masih berlaku hingga saat ini akan menjawab pertanyaan tersebut. Dimana salah satu isi Resolusi Jihad NU tersebut memiliki bunyi yang senada dengan maqolah cinta tanah air sebagian dari iman. Salah satu isinya yakni, bahwa untuk mempertahankan dan menegakkan Negara Republik Indonesia menurut hukum agama Islam termasuk sebagai suatu kewajiban bagi tiap – tiap orang Islam. Hal seperti ini menjadi sesuatu yang sangat urgentuntuk difahami bagi setiap umat muslim, agar tidak muncul lagi kelompok – kelompok yang hendak memisahkan diri dari Indonesia dan memiliki visi mendirikan negara yang berkiblat pada sistem kekhilafahan. Agar tidak ada lagi orang – orang yang memecah belah Islam tersebab salah kaprahny. Khususnya bagi kalangan santri yang dituntut untuk menjadi paku ditengah masyarakat, maka ia harus kuat menopang ideologi NU yakni Ahlusunnah wal jamaah ditengah hiruk pikuknya perkembangan ideologi masyarakat Indonesia. 
Kaum santri merupakan representasi bangsa pribumi dari kalangan pesantren yang sangat berjasa membawa bangsa ini menegakkan kemerdekaan melalui Resolusi Jihad 22 Oktober yang dicetuskan oleh KH. Hasyim Asyari. Jika ditelisik, kata santri itu sendiri murni berasal dari Indonesia. Berbeda dengan kata siswa yang berasal dari Belanda. Apabila diruntut sejarahnya, kita bisa kembali menengok pada penyerangan tentara sekutu atau NICA setelah berhasil mengalahkan tentara Jepang. Usaha NICA untuk kedua kalinya menyerang bangsa Indonesia nyatanya dikejutkan oleh perlawanan orang – orang pribumi dari kalangan santri. Dari sinilah kemudian mereka berfikir bahwa kemerdekaan Indonesia bukan disebabkan karena pemberian dari bangsa Jepang, melainkan benar – benar atas perjuangan gigih dan semangat nasionalisme rakyat Indonesia terlebih dari kalangan pesantren. Pesantren diseluruh Indonesia terus bersatu padu untuk jihad melawan sekutu yang saat itu diserukan oleh KH. Hasyim Asyari bahwa membela tanah air hukumnya ialah fardlu ‘ain atau wajib bagi setiap individu.
Berbicara mengenai Resolusi Jihad NU, PBNU memiliki inovasi tersendiri untuk mengenang sejarah berharga tersebut. Pada tahun 2016 ini, PBNU kembali menggelar Kirab Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama 2016 untuk kembali mengobarkan ghirah dan semangat Resolusi Jihad NU yang kian redup dan semakin memudar di kalangan pemuda NU dan para santri. Kegiatan semacam ini sangat baik jika terus dilaksanakan setiap tahunnya. Mengapa? Agar kami selaku warga NU dan kalangan santri terus mendapat reminder akan pesan Hadratussyeikh KH Hasyim Asyari bahwa “ Masih berlaku wajib bagi warga NU untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia “ . Resolusi Jihad NU ini juga sebagai salah satu peristiwa penting yang menggerakkan santri,pemuda dan masyarakat untuk bergerak bersama berjuang melawan pasukan kolonial yang puncaknya terjadi pada 10 November 1945. Semua peristiwa bersejarah tersebut menunjukkan bahwa Kyai dan santri telah sadar betapa pentingnya konsep keutuhan negara. Dan yang lebih luar biasa lagi mereka juga telah lama sadar akan pentingnya memberi ruang bagi berbagai macam kelompok agar dapat hidup bersama. Hal ini menujukkan bahwa Kyai, terlebih para santri telah terbukti konsisten menjaga perdamaian dan keseimbangan bangsa dan negara. Disamping perjuangan dan semangat para santri yang telah melegenda dalam beberapa literatur sejarah, juga terdapat perjuangan para Kyai yang tercantum dalam catatan sejarah. Bahkan kontribusi para kyai telah nampak sejak pertemuan para Kyai di Banjarmasin pada tahun 1936 yang membahas mengenai kesepakatan Darul Islam atau Daerah Islam. Dengan demikian sudah teramat jelas mengapa hari santri harus diperingati setiap tahunnya. Ya, ini merupakan wujud penghormatan dari negara dan pemimpin bangsa kepada sejarah pesantren, sejarah perjuangan para Kyai dan santri. Tentunya kontribusi pesantren kepada Negara Indonesia sudah tidak terhitung lagi jumlahnya. Karena kelompok santri dan para Kyai telah terbukti sebagai pengawal kokohnya Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ). Para Kyai dan santri selalu berada di garda depan untuk mengawal NKRI dan memperjuangkan pancasila. Pada hasil Mukhtamar NU di Situbondo di tahun 1984, jelas sekali bahwa rumusan pancasila sebagai dasar negara dan NKRI sebagai bentuk final, harga mati yang tidak bisa dikompromikan lagi.
Jika menengok kepada sejarah pesantren dan kiprah santri dimasa lalu dengan prestasinya yang gemilang dan jiwa nasionalisnya yang membara. Namun bagaimana dengan kiprah santri di masa sekarang? Apakah masih ada jiwa nasionalis dan kecintaan terhadap bangsa dan negara? Seberapa jauh kontribusi santri untuk Indonesia saat ini? Tentunya masih banyak rentetan pertanyaan lain yang akan mempertanyakan kapasitas santri di masa kini. Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa pada 17 Agustus yang lalu, terdapat beberapa pesantren yang menyelenggarakan upacara bendera dengan tetap menggunakan identitas santrinya. Ada sebagian dari mereka yang mengenakan sarung dan peci khasnya, mengenakan jubah dan surbannya, dengan semangat kemerdekaan yang masih membara, mereka melaksanakan upacara bendera untuk menghormati ruh pahlawan yang telah mempertaruhkan segenap jiwa dan raga untuk Bangsa Indonesia tanpa harus menanggalkan identitas kesantrian mereka. Tetapi, apakah itu cukup untuk menguji jiwa nasionalis dan wawasan pengetahuan kebangsaan mereka? Tentu saja tidak. Masih ingatkah dengan seorang santri yang membuat Bapak Jokowi dan rakyat Indonesia tertawa? Ya, ia ditertawakan sebab ketidak tahuannya dalam menjawab pertanyaan yang diajukan Bapak Jokowi mengenai nama – nama menteri dalam kabinet Jokowi. Lain lagi dengan kisah seorang santri yang tidak hafal pancasila saat ia diperintah Bapak Jokowi untuk menyebutkan sila – sila dalam pancasila. Mungkin juga masih melekat dalam ingatan bagaimana masyarakat menertawakan seorang santri yang ditanya mengenai lambang negara lalu ia menjawabnya dengan burung pipit, burung dara, dan jenis – jenis burung lainnya yang mengundang gelak tawa masyarakat. Lucu? Menghibur? Tidak. Justru ini sangat memalukan terlebih bagi image santri dan wajah pesantren ditengah masyarakat.Kisah tersebut seakan – akan menunjukkan rendahnya kualitas pengetahuan santri mengenai kebangsaan dan kewarganegaraan. Mungkin Seringkali kita jumpai anak – anak SMA yang kapasitas pengetahuannya terhadap ilmu umum sangat jauh lebih luas dibanding santri pesantren salaf namun mereka yang mengaku Islam sangat minim pengetahuannya mengenai agama Islam. Namun tak jarang pula kita jumpai santri yang mahir membaca kitab kuning, dan tak perlu diragukan lagi wawasannya mengenai ilmu agama namun sayangnya memiliki pengetahuan yang sangat minim mengenai ilmu umum khususnya ilmu kewarganegaraan. Bagaimana solusi untuk mengatasi permasalahan ini? Inilah PR pemerintah untuk mencari solusi yang solutif dalam menyeimbangkan kurikulum kedua lembaga yang memiliki basicyang sangat bertolak belakang tersebut. Mari tingkatkan kualitas santri Indonesia, agar pendidikan pesantren tak lagi di pandang sebelah mata. Sebab, kejayaan Negara Indonesia akan diawali dengan kebangkitan pesantrennya. (Sinta Yulis Pratiwi)


Diberdayakan oleh Blogger.