KETIKA NASIONALISME SANTRI TERGONCANG
doc.Pribadi
IKMPB OPINI : Jumlah santri di indonesia sangat banyak. Mencapai ratusan ribu sebab pesantren di Indonesia puluhan ribu. Banyak di beberapa kota di Indonesia memperoleh sebutan kota santri sebab banyaknya pesantren dan santrinya sendiri. Kurikulum yang dipakai pesantren sendiri jugs sangat beragam, selalu disesuaikan dengan kebutuhan dan visi misi pesantren. Maka output dari pesantren-pesantren pun sangat beragam dan mempunyai karakter khas yang melekat. Meskipun pesantren mengusung model salaf atau modern, model tersebut hanya karakter garis besar yang akan melekat pada santri namun ciri khasnya yang akan membedakan dengan pondok lain akan selalu mengiringi.
Seiring berjalannya waktu, perubahan dan peningkatan ilmu pengetahuan serta teknologi, pesantren-pesantren mulai berusaha adaptif dengan perubahan-perubahan sebagai upaya memenuhi kebutuhan santri terutama ketika akan terjun langsung hidup dengan masyarakat. Salah satu contohnya adalah membuat sekolah formal. Banyak pihak menyambut gembira transformasi adaptif ini karena perubahan dan kebutuhan yang semakin cepat. Suatu informasi atau perubahan bila di masa lalu diperkirakan akan berjalan secara penuh dalam 100 tahun mendatang, sekarang perubahan dan informasi dapat ditemui dalam 10 tahun mendatang. Maka pesantren mulai sadar dan mencoba menganalisis keadaan dan perubahan yang akan terjadi, mengambil keputusan untuk membuat sekolah yang formal. Keputusan tersebut di buat agar santri ketika keluar dari pesantren dan memulai hidup mandiri bersama masyarakat, mempunyai peran yang bermanfaat, dibutuhkan, kompetitif, serta siap dengan berbagai tantangan perubahan. Namun beberapa pesantren masih tetap memegang teguh dengan kesalafannya, dengan meyakini bahwa dengan sistem salaf, santri yang sudah terjun ke masyarakat tetap mampu beradaptasi dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat. Hal itu terbukti dan dapat eksis dengan memberikan kontribusi besar yang diberikannya.
Perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat, khususnya di Indonesia sendiri sangat beragam, salah satu isu perubahannya adalah isu perubahan bentuk Negara yang mengguncang nasionalisme masyarakat termasuk santri. Santri khususnya sebagai seseorang yang masih hidup dalam lingkungan pesantren yang dipenuhi dengan kajian ilmu, pada akhirnya akan merasa terguncang juga dan ingin mencoba mendiskusikannya. Meskipun dirinya masih dipesantren, isu yang mencoba meruntuhkan semangat nasionalisme ini bisa saja merasuk ke dalam benak santri, dan nantinya semangat mempertahankan tanah air runtuh dan menginginkan perombakan bentuk Negara. walaupun demikian patut disyukuri bahwa pesantren tetap berlandaskan kepada kepentingan masyarakat, baik salaf bahkan pesantren modern,peran kiai dengan kepemimpinannya mampu meredam penyimpangan yang terjadi dan yang akan terjadi. Sifat tersebut juga tertular kepada santri dan diimplementasikannya ketika dirinya hidup dengan masyarakat.
Siapa santri? Status atau kedudukan?
Definisi santri tidak mudah untuk dijabarkan. Santri dalam penamaannya tidak muncul sebab peran sosialnya. Banyak hal yang melekat yang menjadikan definisi santri cukup luas dan tidak mudah diartikan. Akhlak, sosial, ilmu pengetahuan, usaha, agama, tempat dan komponen-komponen lainnya mengiringi terciptanya suatu definisi santri. Defisini santri yang banyak diketahui bahwa santri adalah seseorang yang berusaha mencari ilmu agama islam dengan sungguh-sungguh di suatu pesantren, tidak dapat mewakili hakikat dari seorang santri sendiri. Sebab persepsi yang banyak ditemukan agama adalah tentang hari akhir,hari kebangkitan,hari pembalasan. Menilik kepada tujuannya yakni mempelajari agama islam, masih terlalu minim bila disangdingkan dengan pengertian di atas. Agama islam mempunyai ruang kajian yang sangat luas dan universal bukan hanya tentang ilmu tentang hari akhir, namun ilmu yang berkenaan dengan keduniaan juga mencakup di dalamnya.
Namun yang saya dapat tawarkan berdasarkan tujuan terbentuknya pribadi santri dan dibangunnya pesantren pendapat KH. Hasani Nawawie pondok pesantren Sidogiri dapat dijadikan pegangan dalam mendefinisikan santri. Beliau berkata:
السنتري بشاهد حاله هو من يعتصم بحبل الله المتين, و يتبع سنة الرسول الامين, صلي الله عليه و سلم, ولا يميل يمنة و لا يسرة في كل وقت و حين. هذا معناه بالسيرة والحقيقة, لا يبدل ولايغير قديما وحديثا, والله اعلم بنفس الامر و حقيقة الحال.
Santri, berdasarkan peninjauan tingkah langkahnya, adalah orang-orang yang berpegang teguh kepada Al-Quran, dan mengikuti Sunnah Rasul SAW, serta tidak condong ke kanan atau ke kiri setiap waktu dan tempat (teguh pendirian). Ini adalah arti dengan bersandar pada sejarah dan kenyataannya, yang tidak diganti dan diubah selama-lamanya. Allah Maha mengetahui atas kebenaran sesuatu dan kenyataannya.
Berdasarkan terminologi di atas, ada tiga komponen yang terkandung di dalamnya yakni:
1. Berpedoman kepada Al-Quran.
2. Selalu bertindak berdasarkan Hadits Nabi SAW.
3. Netral atau teguh pendiriannya terhadap al-Quran dan Hadits
Jika kita hubungkan dengan permasalahan nasionalisme, santri selayaknya berperilaku obyektif dan tidak anarkis karena Islam tidak mengajarkan pemeluknya anarkis. Bila berhadapan berhadapan dengan permasalahan nasionalisme seperti GAM di Aceh. Misalkan ada seorang santri yang mungkin dari wilayah tersebut maka santri tersebut harus lebih mementingkan keutuhan negara dan bangsa bukan mengikuti ideologi GAM.
Status santri sendiri, sebenarnya lebih mudah muncul ketika dirinya masuk suatu pondok pesantren dan terus melekat sampai dirinya mati. Status santri tidak mengenal jangka waktu, selama dirinya berpedoman pada nilai-nilai pondok pesantren, al-Quran dan Hadits, dirinya telah mengakui dan mempertahankan kesantriannya.
Tergerus arus, ikut-ikutan tanpa mengerti
Suatu isu lain yang masih sering hinggap menghampiri dan menggugah para santri adalah isu keberagamaan sendiri. penistaan agama, diskriminasi umat beragama, dan lain sebagainya masih sering terjadi di Indonesia. Bahkan yang masih aktual adalah masalah dugaan Ahok gubernur DKI Jakarta menistakan ayat suci agama Islam. Hal itu disebabkan dalam suatu pertemuan Ahok mengungkapkan bahwa alangkah baiknya umat Islam Indonesia tidak mengikuti dan tidak mempercayai apa yang disebutkan dalam salah satu surat dala al-Quran tentang tidak diperbolehkannya memilih pemimpin yang non-islam. Setelah kejadian tersebut, serentak berbagai kelompok dan lembaga keislaman menggugat Ahok, salah satu kelompok yang menggugata adalah pesantren. Dengan atau tanpa pemahaman yang mendalam santri tersebut ikut dalam gugatan tersebut. Meskipun langkah ini baik namun permintaan yang terlalu berlebihan seperti keharusan di penjara, telah merusak citra Islam dan kestababilan negara sendiri. semestinya isu ini diselesaikan secara lebih baik misalnya dengan membuat suatu forum yang ditujukan memperjelas pernyataan Ahok sendiri dan berusaha diselesaikan di forum tersebut.
Fanatisme Primordial
Seringkali santri terlibat dalam kubangan kelompok yang terlalu mencintai kelompoknya. Kebenaran dianggap mutlak milik kelompok tersebut. Penyimpangan dari ajaran-ajaran kelompok langsung diklaim salah tanpa ada penelitian dan pemahaman lebih lanjut tentang ajaran yang dianggap menyimpang tersebut. Bahkan, tindakan anarkis langsung dilakukan dengan dalih menyelamatkan dari kesesatan kelompok yang dianggap menyimpang tersebut.
Islam sendiri sudah menekankan kepada para pemeluknya bahwa kesejahteraan bersama jauh lebih penting dari hal-hal yang lain yang bersifat manusiawi. Penekanan tersebut di wujudkan dalam tiga hirarki persaudaraan, yakni pertama ukhuwah islamiyah (persaudaraan sebab satu agama Islam), ukhuwah wathaniyah (hubungan sebab satu negara) dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan sebab melihat kesamaan sebagai seorang manusia). Berdasarkan hal ini, islam bahkan menganjurkan kita bersaudara dan peduli dengan siapa saja tanpa mengindahkan suku, bangsa dan agama.
Fanatisme kepada kelompok sendiri telah banyak menimbulkan konflik dan perang. Sistem kerajaan zaman dahulu yang dianut kerajaan-kerajaan di nusantara, melahirkan perebutan wilayah yang banyak menumpahkan darah bangsanya sendiri. dalam hal ini sebagai contoh, santri lebih baik mencoba merenungi berdasar pada kebenaran dan kesejahteraan, ketika ada permasalahan yang menyangkut dengan kelompoknya sendiri, alangkah lebih baik bila mempertimbangkan apakah memang benar dengan apa yang sudah dilakukan oleh kelompok saya, atau malah yang dilakukan kelompok saya telah menimbulkan kekacauan dan kesengsaraan terhadap kelompok lain.
Santri masih sering terjebak dengan pilihan-pilihan yang membingungkan ini. Ketika santri tidak mengikuti kelompoknya akan dianggap sebagai pengkhianat, namun bila mengikuti kelompok akal fikirannya serta hatinya tidak menyetujui sebab yang dia fokuskan adalah tentang kebenaran dan kesejahteraan. Inilah kadang yang menjadi dilema bagi para santri. Maka, hendaknya manusia yang baik begitu pun santri adalah dia yang kembali kepada Al-Quran dan Hadits. Prinsip-prinsip dalam al-Quran sudah sangat cocok bila diterapkan diberbagai aspek permasalahan.
Solusi
Dari beberapa permasalahan yang sudah disebutkan, berikut ini hal yang dapat dilakukan oleh agar permasalahan tersebut tidak semakin membesar.
1. Self actualization
Banyak yang percaya dan meyakini bahwa kualitas sumber daya manusia yang tinggi merupakan elemen yang sangat dibutuhkan diberbagai aspek. Kualitas SDM akan melahirkan efektifitas dan efisiensi terhadap kelompoknya yang akan melahirkan stabilitas. Dua komponen yang menjadi inti pengukuran kualitas SDM yakni komitmen dan kompetensi. Sebagian manusia biasanya dikaruniai kompetensi yang sangat mempuni, namun jarang dari mereka mempunyai komitmen tinggi sehingga setiap usahanya terkesan rapuh sebab tidak mempunyai dorongan yang kuat atau motivasi.
Dalam penjabaran tentang motivasi, teori Abraham Maslow sering menjadi rujukan orang-orang dalam menjelaskan teori motivasi. Kebutuhan manusia menurut Maslow terdapat lima hirarki, pertama kebutuhan fisik, kedua kebutuhan akan rasa aman, ketiga kebutuhan untuk dicintai, keempat kebutuhan untuk dihargai dan yang terakhir pengaktualisasi diri. Aktualisasi diri sendiri adalah usaha penuh mengoptimalkan diri menuju manusia yang lebih manfaat untuk orang-orang sekitarnya dan lingkungannya.
Santri yang sudah dalam tahap aktualisasi diri tidak mudah terpengaruh oleh permasalahan yang mempunyai tingkat urgenitas rendah. Dia akan memfokuskan mengoptimalkan dan memberikan kontribusi yang lebih besar kepada masyarakat. Misal ada permasalahan yang bersinggungan nasionalisme, dia akan lebih memfokuskan pemikirannya kepada objektifitas kebenaran, bukan seperti mayoritas orang yang terlalu fanatik dan bahkan mengabsolutkan kebenaran kelompok yang dianutnya. Solusi yang dihasilkannya, akan dia coba untuk didistribusikan kepada masyarakat, tidak mengindahkan komentar-komentar yang mencoba merobohkannya.
2. Purifikasi
Setelah SDM kita yaitu santri telah mempunyai tingkat kompetensi dan komitmen tinggi sehingga santri lebih manfaat bagi bangsa dan negara karena cintanya pada bangsa dan negaranya, selanjutnya kita harus berusaha mempurifikasi lebih lanjut tentang nilai-nilai yang ada dalam budaya-budaya di negara kita.
Purifikasi bertujuan agar kita kembali dan berupaya merevitalisasi nilai-nilai budaya bangsa ke arah yang lebih menjanjikan. Hal ini dibutuhkan agar nasionalisme masyarakat atau santri bisa kembali dikaji dan direkontruksi dengan gaya-gaya baru, sehingga pemahaman terhadap nasionalisme semakin meningkat. Purifikasi sendiri bagi santri dapat dilakukan dengan pengkajian budaya dengan perspektif Al-Quran dan Hadist. Karena dua pedoman besar ini hakikatnya juga mempunyai pembahasan tentang budaya.Tidak dipungkiri memang permasalahan biasanya muncul karenan kurangnya pemahaman sehingga menimbulkan kesalahpahaman dan pengabsolutan terhadap nilai yang dianutnya. Dengan berusaha memahami secara lebih lanjut melalui perspektif masing-masing, pemahaman akan lebih mendalam dan kecintaan akan semakin kokoh.
3. Berusaha mengintegritaskan bangsa
Kemajemukan bangsa dan negara ini yang begitu tinggi membutuhkan integritas agar kestabilan negara dapat terwujud. Indiviudalisme dan disintegritas tidak diperkenankan hadir di negara ini, karena hanya akan menimbulkan kerentanan konflik yang berkepanjangan. Menurut Muhammad Takdir Ilahi dalam buku Nasionalisme dalam Bingkai Pluralitas Bangsa, terdapat tiga alternatif yang dapat diaplikasikan. Pertama, membangun dan menghidupkan terus komitmen, kesadaran, dan kehendak untuk bersatu. Usaha ini memang sangat diperlukan sebab internal rakyat yang memang perlu dibenahi pertama. Ketika sisi internal baik maka usaha yang dilakukan pun lebih sedikit serta mudah. Tetapi bila rusak atau belum mempunyai komitmen seperti ini, penanamannya akan membutuhkan usaha yang lebih rumit dan panjang.
Kedua, membangun kelembagaan yang berakarkan nilai dan norma yang menyuburkan persatuan dan kesatuan bangsa. Pesantren menjadi salah satu lembaga yang telah lama ada serta ikut menyemai persatuan dan kesatuan bangsa, sebab pedoman pesantren yaitu al-Quran dan Hadits selalu memdorong umatnya untuk memprioritaskan dan mengedepankan kesejahteraan dan persatuan. Sehingga tak diragukan santri adalah generasi yang diharapkan dalam menyuburkan dan mempertahankan nilan persatuan dan kesatuan bangsa.
Ketiga, menanamkan nilai-nilai Pancasila, jiwa sebangsa dan setanah air, dan rasa persaudaraan agar tercipta kekuatan dan kebersamaan di kalangan rakyat Indonesia. Pendapat saya, nilai ini walaupun telah terkandung dalam nilai-nilai yang lebih aplikatif di pesantren, tetapi secara gamblang penanaman nilai Pancasila belum banyak disebarkan secara lebih nyata dan riil. Maka, diperlukan kesadaran bahwa nilai Pancasila secara absolut adalah nilai yang patut disebarkan dan dipegang teguh oleh rakyat Indonesia.
Keempat, upaya bersama dan pembinaan integrasi nasional memerlukan kepemimpinan yang arif dan efektif. Kiai sebagai pengasuh santri dan pesantren, yang dirangkap dengan jabatan pemimpin telah banyak yang mengakui bahwa kepemimpinan para kiai selalu patut diapresiasi dan anut. Kepemimpinannya selalu berpedoman pada al-Quran dan Hadits, dengan asas keikhlasan dan kemanfaatan tanpa pamrih selalu melahirkan santri yang mempunyai tingkat kontribusi tinggi di masyarakat. Santri sering meniru perilaku kepemimpinan para kiainya dalam hidup bersama dengan masyarakat. Para kiai yang tidak mengajarkan para santri membenci siapapun dan selalu menuntut menghargai orang lain, nilai inilah yang perlu tertanam dalam benak santri. Maka, sekali lagi santri adalah generasi harapan bangsa dalam mempertahankan NKRI sebab dalam dirinya telah tertanam dan selalu terpancar nilai nasionalisme. (Abdul Ghaffar)
Kirim Komentar