Negara Butuh Bibit Bermoral, Bukan Radikal
IKMPB OPINI : Bagaimanakah kedudukan santri dalam nasionalisme di zaman modern ini?pertanyaan itu terasa sulit untuk kita jawab, karena pada zaman modern ini santri telah banyak di klaim sebagai teroris, dan penuh dengan keradikalan. Sebelum kita menganalisis tentang pertanyaan itu, kita harus memahami terlebih dahulu, apa itu santri dan nasionalisme yang sebenarnya ?
Asal sebutan “santri” berasal dari sebutan “para pencari kearifan “, sebagai kelaziman mereka yang menuntut ilmu, dan kedudukan mereka sebagai murid seorang guru arif – bijaksana yang disebut dengan kiai, dan tempat mereka belajar atau berkumpul disebut secara lengkap “pondok pesantren”, yaitu penginapan dan tempat kaum santri berguru pada seorang kiai . Dalam bahasa inggris ada kata nation, national, national-ism, dan dalam bahasa belanda natie, national dan nationalisme. Bahasa Indonesia menyebutnya dengan kata nasional dan nasionalisme yang berarti kebangsaan. Jadi nation atau natie kita alih – bahasakan dengan bangsa. Kata Hans Kohn dalam karyanya yang berjudul “nasionalisme, Arti dan Sejarahnya” : “Nasionalisme adalah salah satu dari kekuatan yang menentukan dalam sejarah modern. Ia berasal dari Eropa Barat abad ke-18, selama abad ke-19 ia telah tersebar di seluruh Eropa dan dalam abad ke-20 ini telah menjadi suatu pergerakan sedunia” .
Dari penjelasan tersebut kita dapat menyimpulkan bahwa nasionalisme itu adalah kekuatan suatu bangsa, dimana seorang santri sangat berperan penting untuk bangsanya, karena kedudukan santri sendiri sebagai seseorang yang menuntut ilmu, dan untuk apa, siapa, dan bagaimana ilmu itu digunakan ?
Seorang santri yang bisa menerapkan ilmunya dengan sebaik mungkin, tidak akan pernah terpengaruh oleh aliran – aliran yang dapat menghancurkan rasa nasionalismenya, dan cap “teroris” untuk kalangan santri tidak akan pernah ada, mengingat di pondok pesantren kita telah dibekali dengan ilmu agama. Dalam ajaran agama apapun telah diajari untuk menjalankan ketaatan kepada Tuhannya, terutama islam yang merupakan agama yang cinta damai. Dalam Qs. Asy-syura 39-43 dijelaskan bahwa “Dan mereka yang bila diperlakukan dengan zalim, membela diri. Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa. Namun barang siapa memaafkan dan berdamai maka pahalannya atas (tanggungan ) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang – orang yang zalim. Dan sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya, tidak ada suatu dosa apapun atas mereka. Dosa itu adalah atas orang-orang yang berbuat zalim kepada sesama manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Bagi mereka adalah azab yang pedih (di akhirat). Tetapi barang siapa bersabar dan memaafkan, sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal utama yang sangat terpuji”.
Sesuai dengan petunjuk agama bahwa asas hidup yang benar, termasuk dalam hidup berkebangsaan, ialah taqwa dan mencari ridho Allah, ketentuan seorang warga Negara khususnya santri sendiri yang lebih mengerti dengan hukum islam harus benar-benar menjalankan perannya sebagai warga Negara yang baik dan sesuai dengan perintah agama, dalam menjalankan perannya itu harus dilakukan dengan kesadaran penuh bahwa Allah hadir dalam setiap kegiatan. Allah mengetahui, mengawasi dan akan meminta pertanggungjawaban setiap tindakan dan perilaku serta dampak-dampaknya. Dengan kesadaran itu, seseorang akan terbimbing kearah budi pekerti luhur atau akhlak mulia. Budi pekerti luhur adalah salah satu wujud kedirian manusia yang paling tinggi. Dihadapan budi pekerti luhur semua kekuatan, baik fisik maupun mental, juga kekuasaan, tidak akan berdaya : “suro-diro jayaningrat lebur dening pangastuti”, “kekuatan jiwa raga dan kekuasaan lebur oleh budi pekerti luhur”. Dalam hal itu kita melihat banyak orang dari berbagai kalangan diantara kita yang menunjukkan kesenjangan antara yang diucapkan dan yang dikerjakan. Tidak saja kita secara formal menganut suatu agama yang mengajarkan taqwa, bahkan bertingkah seolah-olah tidak ada Allah , suatu bentuk kekafiran yang nyata! Karena itu kemudian kita menampilkan diri sebagai orang fasik, bertingkah laku tanpa peduli kepada ukuran-ukuran moral, dan akhlakul karimah.
Sebagai seorang santri sudah seharusnya memiliki budi pekerti luhur dan moral yang baik untuk membangun negeri ini dan menghapuskan krisis moral di Negara kita. Karl Gunnar Myrdal (1898-1987) menilai Negara kita sebagai “soft state” (Negara lunak ), yaitu Negara yang pemerintah dan wargannya tidak memiliki ketegaran moral yang jelas. Maka usaha menegakkan standard moral merupakan salah satu urgensi bagi bangsa kita. Sekali lagi, lemahnya standard moral inilah yang menyebabkan kita sekarang mengalami krisis multidimensional.
Santri tanpa jiwa nasionalisme ilmunya akan terasa sia-sia, karena hakekat kegunaan ilmu itu sendiri adalah bagaimana dia bisa bermamfaat untuk dirinya, dan orang lain untuk kemaslahatan bersama yang nantinya akan tercapai rasa nasionalisme. Unsur- unsure penting nasionalisme adalah : 1. Kesetian mutlak, kesetiaan tertinggi individu itu adalah pada nusa dan bangsa 2. Kesadaran akan suatu panggilan 3. Keyakinan akan suatu tugas dan tujuan yang harus dikejar 4. Harapan akan tercapainya sesuatu yang membahagiakan 5. Hak hidup, hak merdeka dan hak atas harta benda yang berhasil dikumpulkan dengan jalan halal. 6. Kepribadian yang kolektif yang mengandung perasaan mesra sekeluarga, nasib serta tanggung jawab yang sama, persaudaraan dan kesetiaan diantara manusia itu 7. Jiwa rakyat (volksgeist) yang dapat diselami dalam tradisi, bahasa, cerita dan nyayian rakyat 8. Toleransi yang sebesar-besarnya terhadap satu sama lain. Seorang santri harus bisa memiliki unsure-unsur tersebut
Pada zaman modern sekarang seharusnya para santri harus memiliki rasa nasionalisme yang lebih tinggi daripada para pejuang-pejuang islam pada zaman penjajahan, para pejuang-pejuang itu kebanyakan terlahir sebagai seorang santri atau ulama-ulama agama tapi mereka mempunyai rasa nasionalisme yang tinggi, seperti para tokoh pelopor pertama nasionalisme modern Haji omar said tjokroaminoto dan Haji agus salim, maka dalam hal “modern national community building” para tokoh ini malah memakai konsep modern dari Negara barat, karena menurut mereka konsep nasionalisme Negara barat itu sangat bermutu, jadi meskipun sebagai seorang santri dan ulama kita diperbolehkan mengambil sisi positif dari orang-orang yang nonmuslim sekalipun.
Dalam menerapkan rasa nasionalisme tersebut, seorang santri harus memiliki jiwa nasionalis, moral yang baik, dan pendidikan yang bermutu tinggi, untuk bisa membangun negeri ini menjadi lebih baik. Siapa lagi bibit – bibit nasionalisme yang akan membangun Negara kita, kalau bukan dari warga negaranya sendiri, terutama para santri, sebagai generasi penerus bangsa. Negara ini butuh orang yang bermoral bukan orang yang penuh keradikalan !. (Naila Musarrofa)
Kirim Komentar