Restrukturasi Paradigma Masyarakat Terhadap Jiwa Nasionalisme Santri
IKMPB OPINI : Keberadaan lembaga pendidikan pesantren
tak jarang dipandang sebelah mata oleh sebagian masyarakat modernis yang
menganggapnya kolot dan tak kenal rasa cinta terhadap negara. Hal ini tentu
juga berdampak pada keraguan akan terbentuknya mental bela negara yang dimiliki
para santri, karena terkesan dunia pesantren hanya terbelenggu oleh
ajaran-ajaran ukhrawi(keakhiratan) dan mengesampingkan doktrinnya dalam hal
kecintaan terhadap negara. Mirisnya, sebagian orang yang tidak paham apa
sebenarnya substansi daridoktrin pesantren, akan dengan mudah mengklaim bahwa
para begundal teroris dalam negeri tidak lain adalah dari kalangan santri.
Tampaknya upaya mengoreksi arti “cinta
tanah air” ini perlu dimunculkan kembali ke permukaan. Apabila kembali ke
pangkuan sejarah, maka akan terasa betul bagaimana negeri ini dibangun dengan
tidak sedikit berasal dari tetesan darah santri. Khazanah kita membuktikan,
Tuanku Imam Bonjol, Pangeran Antasari, Pangeran Diponegoro, hadratussyaikh
KH.Hasyim Asy’ari dan para aktifis jihadis lain telah terekam jasanya dalam
sejarah menumpaskan penjajahan di Indonesia. Maka sangat ironis apabila pemahaman
akan adanya penanaman rasa cinta tanah air terhadap santri dan kontribusinya
pada negara dianggap minim bahkan tidak ada. Dari sini, maka perlu
dipertanyakan pada orang-orang yang meragukan nasionalisme santri, apa
sebenarnya manifestasi dari adanya rasa cinta tanah air? Apakah mereka yang setiap
harinya mendapatkan pelajaran pendidikan kewarganegaraan? Ataukah para birokrat
berdasi yang mengurusi tatanan negara? Atau yang cumlaude melafalkan pancasila
dan khusu’ dalam upacara bendera? Meski dunia pesantren tidak secara maksimal melaksanakan
hal itu, namun apabila berbicara pembelaan terhadap negara maka tempat mereka
di shaf terdepan sesuai dengan prinsip hubbul
wathon yang tertanam di hati para santri. Sayangnya,tidak banyak dari
kalangan masyarakat yang menyadari akan hal itu.
Lucunya negeri ini, pemahaman masyarakat
indonesia yang menganggap bahwa negara harus diperjuangkan dengan cara-cara
yang elit dan gaya hidup serba modern telah mendarah daging, jika tidak dengan
pendidikan tinggi di luar negeri, persenjataan kelas atas ala Amerika Serikat, dan
keberadaan intelek berjas rapi, maka indonesia tidak akan sampai pada kejayaaan
yang sesungguhnya. Semua yang serba modern nampak indah di mata masyarakat kita
sehingga lupa akan urgensi pendidikan pesantren dalam membentuk jiwa-jiwa
merdeka yang shahih. Kemerdekaan tidak bisa diraih hanya dengan landasan teori,
namun praktek dan kekukuhan mental jihadis yang terarah menjadi hal yang tidak
bisa disepelekan. Bukankah itu adalah bentuk konkrit dari kalimat “cinta tanah
air”?
Meski pada awalnya nasionalisme
digiatkan untuk meraih cita-cita bebas dari penjajahan negara lain, saat ini pun
nasionalisme masih sangat diperlukan setidaknya untuk mempertahankan diri dan
membangun kualitas menuju sebuah negara yang besar. Dan untuk mencapai itu
semua, perlu adanya pemupukan benih-benih kecintaan terhadap negara oleh masyarakat
tak terkecuali para santri. Secara kasat mata memang terasa sulit untuk
membayangkan “nasionalisme santri” dengan definisi yang formal, karena secara
umum santri memang disibukkan dengan lingkungan syar’i dan pembelajaran baku
ulama’-ulama’terdahulu. Dengan demikian tidak jarang terbentuklah maindset
masyarakat yang tidak paham substansinya mengira bahwa santri tidak punya peran
dalam menjaga jiwa nasionalis. Padahal apabila dikaji secara mendalam, banyak
hal yang dilakukan dilingkungan pesantren yang menggambarkan nilai-nilai bangsa
sesungguhnya, misalkan tawadhu’ (ketaatan) menjadi sesuatu yang dipatenkan dalam
lingkungan pesantren. Para santri dilarang keras melanggar segala hal yang
tidak diridhoi kiyainya, ini mengajarkan kepada mereka untuk senantiasa taat
pada pemimpin. Khidmat (keikhlasan dan kepedulian), santri dibiasakan dengan
lingkungan yang sangat peduli sosial, mereka juga dibiasakan dengan sifat
ikhlas dalam mengamalkan ilmu-ilmunya, ini menjadi indikasi bahwa santri tidak
akan membiarkan lingkungan sekitarnya dalam keterpurukan. Yang artinya mereka
pun akan siap untuk senantiasa ikhlas dan peduli dalam mewujudkan negara yang
benar-benar merdeka. Tirakat (kesederhaan), dalam hal ini sudah tidak bisa
diragukan lagi di setiap jiwa santri, lingkungan pesantren mengajarkan pada mereka
sebuah kesederhaan. Tidak ada kelas sosial didalamnya, perbedaan latar belakang
individu tidak berlaku lagi. Mereka adalah satu warna satu tujuan, semuanya
mendapat hak dan kewajiban yang sama. Bukankah ini gambaran nyata dari
cita-cita bangsa? Serta banyak lagi nilai-nilai negara yang secara kontekstual
telah mendarah daging di dunia pesantren, namun semua itu jarang diketahui oleh
masyarat modern saat ini.
Pada umumnya kehidupan masyarakat
indonesia telah terkontaminasi oleh paham dunia barat yang dibungkus rapi
dengan sebutan globalisasi. Sehingga terkadang lupa terhadap jati dirinya bahwa
indonesia lahir tidak lepas dari perjuangan para santri. Setelah medan juang
divakumkan karena penjajah telah hengkang dari negeri ini, dan para pejuang
sejati kembali ke surau-surau mereka, kini para pembesar negara output belanda
dan jepang menguasai pola pikir masyarakat yang menyebabkan lupa terhadap
komunitas perwira nan ikhlas memperjuangkan negara. Oleh karena itu, pemahaman
akan jiwa nasionalisme dan kriteria keterlibatan didalamnya perlu ditata
kembali dikalangan internal kita sebagai negara yang kaya akan keberagaman.
Upaya bela negara yang termasuk dalam kriteria cinta tanah air bisa dipisahkan
dalam dua kategori, yakni unsur dari dalam dan dari luar diri masyarakat. Unsur
dari luar bisa diwujudkan dengan menjaga stabilitas keamanan negara, mengatur
urusan kehakiman dan keadilan, mempersiapkan angkatan bersenjata untuk
menciptakan negara yang bebas ancaman musuh dan sejenisnya. Sedangkan yang
dimaksud dengan unsur dari dalam yakni
upaya menjalin kepekaan sosial (solidaritas), menjaga kerukunan, serta
kemantapan hati untuk mendedikasikan diri demi kebaikan negara. Pada akhirnya,harus
kita akui bahwa santri pun memiliki unsur-unsur itu, bahkan mereka bisa menjadi
panutan untuk menjaga karakter bangsa yang sesungguhnya.(Feby Nurjannah)
Kirim Komentar