SANTRI CULTURAL UNTUK NEGERI, MEMBENTUK JIWA NASIONALISME
IKMPB OPINI : Kemiskinan dan kebodohan merupakan masalah besar yang hingga saat ini terus menjadi ancaman yang membayang-bayangi masyarakat, dan khususnya masyarakat muslim di Indonesia. Indonesia sudah merdeka 70 tahun lamanya tapi masih saja tedapat kebobrokan moral para pemimpin bangsa yang menghasilkan pemerintahan yang awur-awuran. Sehingga rakyat bertanya-tanya.
"Apakah yang terjadi di negeri ini?
Yang katanya negeri dimana apa yang engkau tanam itu juga yang akan kau dapat, apa yang engkau lihat itu juga yang akan kau rasa!
Menghisap sebatang lisong
Melihat Indonesia Raya, mendengar 130 juta rakyat, dan di langit
Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan. Aku bertanya,
Tetapi pertanyaan-pertanyaanku membentur meja kekuasaan yang macet,
Dan papan-papan tulis para pendidik yang terlepas dari persoalan kehidupan.
Aku melihat sarjana-sarjana menganggur berpeluh dijalan raya; bahwa bangsa kita adalah malas, bahwa bangsa kita mesti dibangun; mesti di up-grade
di sesuaikan dengan teknologi yang diimpor.."
Indonesia memiliki cita-cita
Indonesia sebagai salah satu bangsa yang kaya akan penduduknya yang terampil dan memiliki kredibilitas yang tinggi, pantaslah memiliki suatu tujuan dan cita-cita yang tertuang baik dalam Pembukaan UUD 1945 dan juga dijabarkan pada alinea IV Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi:
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karenatidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”
Dari petikan pembukaan UUD’45 sudah jelas bahwasannya negara ini memiliki cita-cita dan tujuan yang sangat jelas sesuai dengan harapan para pendiri dan proklamator Bangsa Indonesia serta para cendikiawan muslim saat itu (Ulama’) yang memiliki peran besar dalam kemerdekaan Indonesia melalui basis pesantren yang mereka memiliki. Pertama, Membentuk suatu pemerintahan Negara Republik Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Kedua, Memajukan kesejahteraan umum/bersama. Ketiga, Mencerdaskan kehidupan bangsa. Keempat, Ikut berperan aktif dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berlandaskan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Serta Bangsa Indonesia memiliki landasan atau ideologi yang di sebut Pancasila. Pancasila terdiri dari lima sila. Kelima sila itu adalah: Pertama, Ketuhanan yang Maha Esa. Kedua, Kemanusiaan yang adil dan Beradab. Ketiga, Persatuan Indonesia, Keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan Kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jadi siapakah yang bertanggung jawab atas hal ini, tas segala keresahan yang ada, atas segala problema-problema yang ada? Apakah Pemerintah yang tidak bisa mensejahterahkan dan lebih mementingkan ego mereka atau rakyat yang tidak bisa mengerti akan kebutuhan pemerintah sekarang ini.
Pesantren Sebagai Wadah Santri
Pesantren dan percaturan pendidikan dunia pasca 2000 menarik untuk dilihat sebagai perkembangan mutakhir, baik dari perspektif UNESCO di dalam beberapa pertemuan di tingkat global. Perbincangan tentang pesantren dalam pertemuan-pertemuan itu mengakui pesantren tidak hanya sebagai lembaga pendidikan, melainkan juga lembaga yang memiliki kepedulian sosial dan penanaman nilai-nilai sosial kemasyarakatan dan akhlak. Kalau berbicara soal pengembanag pesantren, maka kita berbicara soal perkembangan sejarah yang panajang. Dalam kerangka waktu 6 abad akan terlihat bahwa pesantren berkembang pada setiap tahap dan memberikan jawaban-jawaban sesuai dengan kepribadiannya, sesuai dengan kemampuan nyata yang dimilikinya.
Pada awal kemerdekaan, jawaban-jawaban ketika Indonesia masih dalam proses pembetukannya, termasuk dasar negara, menyusun undang-undang dasar, ketika terjadi konflik-konflik internal berbagai kelompok yang ingin merdeka, pesantren memiliki posisi yang tersendiri dalam Indonesia yang satu. Perkembangan ini mengingatkan kita pada kalimat hikmah di pesantren, al-muhafadhah ‘ala al-qadim ash-shalih ma’a al-akhdzi bi al-jadid al-ashlah. Ini adalah sebuah wisdom yang luar biasa.
Eksistensi pondok pesantren di tengah arus modernitas saat ini tetap signifikan. Sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia pesantren memiliki kontribusi penting dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Lembaga pendidikan ini layak dipertimbangkan dalam proses pembangunan bangsa di bidang pendidikan, keagamaan, dan moral. Ditinjau secara historis, pesantren memiliki pengalaman luar biasa dalam membina, mencerdaskan dan mengembangkan masyarakat.
Di sini penulis akan lebih mengupas sisi keistimewaan Pesantren sebagai wadah untuk “santri” berkarya. Secara umum, Zamakhsyari Dhofier dalam bukunya “Tradisi Pesantren” mengartikan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang asli Indonesia, yang pada saat ini merupakan warisan kekayaan bangsa Indonesia yang terus berkembang hingga saat ini. Pesantren sebagai wadah memiliki figur yang sentralnya yaitu adanya Kiai dan pusat kegiatannya adalah masjid baik kegiatan pengajaran berbasis Islam maupun kegiatan lain yang menunjangnya. Dan pesantren memiliki objek utamanya yaitu santri serta komponen-komponen yang ada ini selain Pondok, Masjid, Pengajaran Kitab Islam Klasik, Santri maupun Kiai sebagai figur sentralnya, kesemuanya itu berkesinambungan satu sama lain sehingga mampu mewujudkan doktrin dasar dari lembaga pendidikan berbasis Islam.
Dalam konteks keumatan itu pesantren hadir sebagai lembaga pendidikan, keilmuan, pelatihan, pemberdayaan masyarakat, dan bimbingan keagamaan. Peran itu menempatkan pesantren dalam kerja sama yang luas dengan berbagai pihak yang peduli kepada penguatan masyarakat dalam platform kemaslahatan. Kerja sama yang luas itu menempatkan pesantren berperan sebagai moderator perubahan sosial di masyarakat. Nilai-nilainya sendiri yang mendasarkan pada acuan ajaran agama Islam universal mendorong kemajuan berfikir umat Islam untuk mengelola lokalitas secara keilmuan. Kedekatannya dengan masyarakat memberikan ruang untuk membangun integrasi sosial di dalamnya. Dan perpaduan antara universalitas ajaran dan lokalitas penyelenggaraan memberikan kekuatan kepada pesantren untuk membangun model pembelajaran dalam bingkai kearifan lokal.
Pesantren sendiri bukan hanya karena keberadaannya sudah ada sejak zaman Wali Songo tapi dikarenakan sub-kultur, pengajaran serta metode yang disajikan menjadikan pesantren sebagai pusat kegiatan baik pada santri maupun masyarakat sendiri terjaga hingga sekarang yang ketika modernitas melanda bangsa Indonesia, maka pesantren di tengah globalisasi ini masih berdiri tegap menjanlankan roda pendidikannya tanpa terkikis oleh modernitas yang ada. Karena pesantren mengikuti zaman tanpa mengikis tradisi-tradisi pesantren yang sudah ada sejak lama maka pada saat sekarang ada pesantren yang di samping belajar agama, juga membuka sekolah formal.
Dengan kata lain, pesantren tidak hanya menyediakan atau memberikan pengajaran-pengajaran ilmu agama secara mendalam tetapi juga ilmu-ilmu pengetahuan yang berkembang pada zaman sekarang karena di lihat dari banyaknya tokoh-tokoh yang menjadi jebolan pesantren dan seorang Santri (akan dibahas pada pembahasan selanjutnya). Tapi tradisi-tradisi pesantren tetap menjadi tolak ukur pembelajaran pesantren yang sudah luhur. Ini semua sebagai bukti bahwa Lembaga Pendidikan Pesantren memberikan kontribusi yang banyak terhadap cita-cita bangsa Indonesia sendiri secara kontinyu tanpa menggantikan atau menggeser budaya yang sudah ada. Karena itulah pesantren tetap eksis dan berkembang sampai sekarang.
Wujud Santri Melahirkan Nama-Nama Besar
Dalam perjalanan bangsa santri memiliki tempat tersendiri dalam perputaran roda kepemimimpinan di Indonesia, telah di kupas sebelumnya bahwa santri dengan keberagamannya memiliki keunikan yang ada didalamnya, sehingga pesantren pun melahirkan nama-nama besar seperti Hadratosyekh Hasyim Asyari, Prof. K. H. Saifuddin Zuhri (Menteri Agama RI), Abdurrahman Wahid (Gusdur, Presiden Indonesia keempat), Mahfudz MD, Nurkholis Madjid (Cak Nur, Cendekiawan Islam), Din Syamsuddin (Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah), Prof. Dr. Nasaruddin Umar (Wakil Menteri Agama RI), Prof. Dr. Aqil Sirodj (Ketua Umum PBNU), Emha Ainun Nadjib (Cak Nun, Cendikiawan Islam), Jusuf Kalla (Wakil Presiden R I), dan masih banyak tokoh-tokoh yang terlahir dari muka santri dan berlatar belakang pesantren.
Santri Memiliki Cara Mencerdasakan Bangsa
Santri Kultural seperti judul diatas menggambarkan bahwa santri sebagai budaya yang memang telah menjadi akar kehidupan nasionalisme dan patriotisme, ini digambarkan dengan perjalanan sejarah dari berbagai macam perjuangan yang telah di lalui santri sehingga membuatnya bisa tetap eksis dengan berbagai hambatan dan budaya kekinian yang banyak telah mengikis budaya-budaya yang ada. Tapi santri tetap pada tradisinya meski pengaruh saling memborbardir eksistensinya.
Perkembangan masyarakat dewasa ini menghendaki adanya pembinaan peserta didik yang dilaksanakan secara seimbang antara nilai dan sikap, pengetahuan, kecerdasan dan keterampilan, kemampuan berkomunikasi dengan masyarakat secara luas serta meningkatkan kesehatan terhadap alam lingkungannya. Sejalan dengan semakin kompleks dan pesatnya perkembangan hidup masyarakat, yang menyangkut ilmu pengetahuan dan teknologi maupun kehidupan beragama. Hal ini berangkat bahwa pendidikan adalah upaya untuk membentuk manusia seutuhnya dan membutuhkan waktu yang relatif panjang bahkan berlangsung seumur hidup.
Para ahli komunikasi massa, sosiolog, dan antropolog melibatkan kyai dalam korps mereka untuk mengontrol akses informasi dan ilmu pengetahuan. Karena informasi atau ilmu pengetahuan membawa cahaya kekuatan, maka hampir otomatis kyai yang merasa menguasai ilmu pengetahuan agama muncul sebagai pengarah opini-opini. Dalam komunikasi pedesaan, pesantren – sebagai bentengnya kyai – tidak hanya menyediakan tempata dan kesempatan bagi studi teks-teks keagamaan (kitab kuning), tetapi yang lebih penting mereka tampil sebagai pusat komunikasi bagi segala macam lapisan masyarakat pedesaan, dari yang miskin hingga yang kuat/kaya.
Dilihat dari perspektif seorang perencana, think-tank metropolis, kyai begitu lamban dan bersahaja (unsophisticated) dalam merespon perubahan. Namun, kita tidak dapat menyangkal bahwa pengalaman panjang kyai dalam kaitannya dengan masyarakat pedesaan dan isu-isu lokal telah menjadikan mereka berhati-hati dalam mendukung hal-hal baru. Ketika pendidikan modern menjadi penting dalam kehidupan masyarakat modern, dan tidak hanya para pelajar yang potensial memiliki kesempatan untuk mengikuti studi lanjutan/tinggi, maka model pendidikan pesantren menjadi relevan untuk masa sekarang. Kemudahan akses yang diberikan oleh kyai dan pesantrennya membuat keterlibatan dari semua lapisan masyarakat menjadi mungkin, termasuk pendaftaran di dalam fasilitas-fasilitas pendidikannya. Sekarang, adalah menjadi tanggung jawab negara dan masyarakat untuk menyediakan atmosfer pendidikan yang lebih kondusif, dan pesantren dapat memberikan akomodasi yang lebih besar bagi para penuntut ilmu pengetahuan tanpa hambatan biaya dan birokrasi. Sesungguhnya, pesantren dapat memainkan peran yang lebih sentral dalam mewujudkan wajib belajar pendidikan tinggi di Indonesia sekarang, sehingga mencetak pemuda yang berkarakter sesuai dengan visi dan misi bangsa dan negara RI.
Sehingga santri hadir sebagai produk dari pesantren dalam proses pembentukan dan pengembangan intelectual, keterampilan serta kemampuan mengola bahasa menjadi suatu komunikasi yang baik dan benar serta mudah diterima masyakarat. Dalam konteks ini, santri memiliki tiga peran yang justru semakin menguatkan posisi santri yang memiliki kontribusi besar untuk bagi kebangsaan. Jejak perjalanan santri dalam sejarah untuk bangsa tidak diragukan lagi banyak hal telah santri curahkan demi untuk bangsa ini, tapi tidak sedikit pula santri yang menjadi sosok pemimpin pada saat ini.
Kemerdekaan dan perjuangan menjdi salah satu hal yang perlu di ingat bahwa lansung maupun tidak langsung santri memiliki banyak peran di dalamnya Perjuangannya bisa berbeda-beda, bisa dengan angkat senjata dan bisa juga dengan kontribusi pemikirannya untuk mencapai rumusan yang sama dari pemikiran kaum santri ini. Banyak alasan mengapa santri menjadi salah satu model dasar yang akan menjawab tantangan bangsa, di samping karena metoda pengajaran, juga santri memiliki sikap atau pola pikir yang memang telah di tanamkan sejak pesantren yang berlandaskan Rukun Agama yaitu Iman, Islam dan ihsan.
Indonesia yang memilki cita-cita dan tujuan yang terangkum dalam UUD 1945 telah banyak di aplikasikan oleh santri seperti ‘mencerdaskan kehidupan bangsa...”, santri memilki peran yang komprehensif dalam bagian ini di karenakan santri salah satunya di didik untuk bisa terjun di masyarakat dengan mengajarkan ilmu-ilmu yang telah di pelajarinya, sehingga substansi dan dari santri ini menjadi salah satu hal yang akan menjawab tantangan bangsa. Jayalah Santriku maka Sejahteralah Negeriku. *Oki Suhartono
Kirim Komentar