SANTRI, RESOLUSI JIHAD, DAN NASIONALISME
IKMPB ARTIKEL : Ditetapkannya Hari Santri Nasional oleh Presiden Joko Widodo pada hari Kamis, 22 Oktober 2015 di Masjid Istiqlal Jakarta --mendapat respon positif dari masyarakat luas, terlebih bagi masyarakat kaum santri. Penetapan Hari Santri yang diresmikan presiden Joko Widodo merupakan bentuk penghargaan terhadap para kiai dan santri yang telah rela menyumbangkan segenap jiwa dan raganya untuk merebut kemerdekaan dari tanggan penjajah.
Perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan bangsa memang tidak terlepas dari peran Kiai dan Santri. Pembentukan tentara Hisbullah dan Sabilillah, serta keterlibatan KH. Abdul Wahid Hasyim dalam Badan Penyelidikan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan adanya fatwa Resolusi Jihad oleh KH. Hasyim Asy’ari yang menetapkan farduh ain untuk mempertahankan kemerdekaan merupakan wujud dari peran aktif mereka dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di era globalisasi, tantangan yang dihadapi kaum Santri semakin kompleks. Terutama menyangkut soal Nasionalisme. Muncuknya gerakan Transnasional yang dapat membahayakan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) kian hari kian bertambah banyak. Untuk itu, peran Santri sangat dibutuhkan dalam menjaga dan melestarikan Indonesia sebagai Negara kesatuan.
Nasionalisme Santri
Berbicara soal Nasionalisme Santri. Bukti Nasionalisme Santri, menurut penulis, dapat dilihat dari beberapa fakta sejarah seperti; peristiwa Resolusi Jihad yang di fatwakan oleh KH. Hasyim Asy’ari, keterlibatan KH. Abdul Wahid Hasyim dalam Badan Penyelidikan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), terciptanya Syair Syubbanul Wathon karya KH. Wahab Chasbullah, dan lain sebagainya.
Terjadinya peristiwa Resolusi Jihad merupakan salah satu bukti Nasionalisme Santri yang paling tampak dan paling besar pengaruhnya. Dilihat dari persepektif sejarah, Resolusi Jihad yang di fatwakan oleh KH. Hasyim Asy’ari kepada seluruh umat islam di Indonesia untuk ikut serta dalam memerangi penjajah. Fatwa dalam membela Tanah Air yang dikeluarkan oleh KH. Hasyim Asy’ari memberi dapak yang sangat luar biasa terhadap pembentukan Nasionalisme kaum santri.
Menurut Masdar Hilmy, seruan Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari di masa-masa perang revolusi, misalnya, bias dilihat sebagai tonggak penancapan konsep nasionalisme non-primordial versi kiai atau pesantren, di mana serua panggilan jihad dikumandangkan guna mengusir penjajah dari bumi Indonesia yang multikultural, bukan untuk membela satu golongan atau kelompok agama tertentu.
Disisi lain Syair Syubbanul Wathon karya KH. Wahab Chasbullah juga bias dilihat sebagai tonggak dalam membentuk Nasionalisme kaum santri. Sebagaimana bunyi Syair Syubbanul Wathon (Cinta Tanah Air):
Ya Lal Wathon Ya Lal Wathon Ya Lal Wathon
(Puasaka Hati Wahai Tanah Airku)
Hubbul Wathon minal Iman
(Cintaku dalam Imanku)
Wala Takun minal Hirman
(Jangan Halangkan Nasibmu)
Inhadlu Alal Wathon
(Bangkitlah Hai Bangsaku)
Indonesia Biladi
(Indonesia Negriku)
Anta ‘Unwanul Fakhoma
(Engkau Panji Martabatku)
Kullu May Ya’tika Yauma
(Siapa Datang Mengancammu)
Thomihay Yalqo Himama
(Kan Binasa di bawah Durimu)
Menurut KH. Maimoen Zubair atau yang sering di panggil dengan sebutan Mbah Maimoen, bahwa ketika beliau mondok di Tambak Beras dan belajar di sekolah “Syubbanul Wathon” menjadi lagu wajib dinyanyikan murid-murid sebelum masuk kelas. Dari sini kita bias melihat betapa kuatnya rasa Nasionalisme kaum Santri serta dalam pembentukan Nasionalisme seorang Santri yang dilakukan oleh para Kiai atau lembaga pesantren.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh George McTurnan Khain (1918-2000, Cornell University, USA), di dalam hasil penelitiannya, yang di tulis dalam “Nastionalisme and Revolution in Indonesia” (Connel University, Southeast Asia Program, 1952), Gorge McTurnan Khain menyimpulkan bahwa “Nasionalisme Indonesia berakar pada tradisi Islam Nusantara”: pesantren!
Dari penjelasan diatas, penulis dapat menyimpulkan, bahwa, Nasionalisme seorang Santri sudah tidak perlu diragukan lagi. Kalau toh ada santri yang mengancam keutuhan NKRI, mungkin itu bukan santri yang sebenarnya. Sejarah telah mengungkapkan bahwa sanya keterlibatan seorang santri dalam merebut kemerdekaan bangsa Indonesia dari tanggan penjajah, keterlibatan dalam BPUPKI, Serta adanya peran aktif dalam melestarikan NKRI.
Peran Santri dalam Melestarikan NKRI
Akhir-akhir ini, ancaman terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) kian hari kian membahayakan. Menguatnya gerakan-gerakan yang mengancam terhadap keutuhan NKRI, seperti yang disebutkan oleh Abd A’la sebagai kelompok fundamentalisme keagamaan yang saktarian dan fundamentalisme globalisasi eksternal. Sedangkan Masdar Hilmy, memakai istilah gerakan Transnasionalisme.
Adanya sebagian masyarakat Muslim di negeri ini yang hendak meng-Islam-kan konsep nasionalisme dengan cara menggantinya menjadi Dawlah/Khilafah Islamiyah atau Negara Islam Indonesia (NII). Di mata kelompok ini, konsep nasionalisme merupakan bentuk kekufuran berfikir, --lebih-lebih yang “sekuler” –karena megingkari bentuk Negara Islam yang mereka yakini sudah bersifat “given” sebagaimana dimandatkan oleh al-Qur’an dan Hadist. Ironisnya, kelompok penganjur konsep Khilafah atau NII bias eksis mengkampanyekan konsepnya dengan memanfaatkan ruang-ruang demokrasi yang dibuka lebar oleh rezim nasionalisme “sekuler”.
Oleh karena itu, mulai dari sekarang kita harus sudah mulai mengkonstruk konsep “musuh bersama” (common enemy) yang bersifat perennial dan universal, bukan “musuh” dalam pengertian klasik. Hal ini tidak lain untuk mejaga keutuhan dan keragaman bangsa menuju kejayaan Indonesia. Tanpa itu semua, bangsa ini akan terninabobokkan oleh konsep nasionalisme klasik yang keberadaannya sudah tidak mampu mengakomodir tantangan zaman.
Dalam pengimplementasiannya, nasionalisme tidak cukup hanya diukur dengan sekedar hafal redaksi sumpah pemuda, lagu Indonesia raya, dan lain sebagainya. Tapi lebih dari itu, pembumian konsep nasionalisme harus menyentuh kebutuhan dan tantangan kekinian bangsa Indonesia.
Dengan berbagai macam ancaman dan tantangan terhadap bangsa Indonesia, maka, peran santri sangat dibutuhkan. Santai sebagai orang yang mempunyai kecerdasan intelaktual, speritual, dan nasionalisme yang tinggi diharapkan mampu untuk mengatasi ancaman dan tantangan yang sedang melanda bumi pertiwi. Santri juga dirahapkan menjadi garda terdepan dalam menjaga keutuhan NKRI, sebagaimana yang telah dilakukan oleh para kiai dan santri terdahulu.
Mudah-mudahan pada Hari Santri Nasional ini menjadi momentum bagi kita semua untuk dapat meningkatkan rasa nasionalisme, mengingat ancaman dan tantangan bagi bangsa Indonesia kedepan akan semakin kompleks. Maka dari itu, penulis berharap mudah-mudahan lewat tulisan ini rasa nasionalisme kita akan semakin kokoh. Amin!
DAFTAR RUJUKAN
Abd A’la, Jahiliyah Kontemporer dan Hegemoni Nalar Kekerasan Yogyakarta: LKSI, 2014
Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai Kontruksi Sosial Berbasis Agama Yogyakarta: LKSI, 2011
Hans Khon, Nasionalisme Arti dan Sejarahnya Jakarta: Erlangga, 1984
Masdar Hilmy, Islam, Politik, dan Demokrasi Surabaya: Imtiyaz, 2014
NU Online, 18/10/1016
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Jakarta: LP3ES, 2011. (M. Zainal Abidin )
Kirim Komentar