INVESTASI UNTUK 2019
INVESTASI UNTUK 2019
Oleh : Haerul Anwar
Oleh : Haerul Anwar
Jember, 16/08/17,- Berbagai media merilis, lawatan bapak presiden ke Jember beberapa hari lalu adalah bagian dari kunjungan kerja untuk membangun silturrahim dengan beberapa kiai, khususnya kiai NU (Nahdhatul Ulama’) di Jember. Terdapat empat titik tujuan kunjungan presiden yang semuanya adalah pondok pesantren. Beberapa pesantren itu diantaranya PP Nurul Islam (Nuris) Antirogo, PP Al Amin – Sabrang – Ambulu, PP As Sunniyah – Kencong, dan PP Al Qodiri – Gebang.
Tak sekadar kunjungan, lawatan ini syarat akan motif politik dalam memperkuat basis dukungan warga Nahdhiyyin di Jember dalam perhelatan pilres 2019. Tampak jelas, dari keempat pesantren yang dikunjungi, semuanya adalah pesantren besar yang dikomandoi oleh para ulama’ (kaum elit) NU, yang tentu sensasional dan menyedot perhatian berbagai pasang mata masyarakat. Sebut saja, K.H Muhyiddin Abdusshomad (Nuris) sebagai Rais Syuriah PCNU Jember, K.H Imam Ghazali (Al Amin) sebagai Wakil Rais Syuriah PCNU Jember, K.H Sadid Jauhari (As Sunninyah) sebagai Mustasyar PCNU Jember.
Pendekatan kepada NU sejatinya telah presiden lakukan dalam beberapa bulan terakhir. Kerapkali presiden menggandeng ketua Majlis Ulama’ Indonesia (MUI) yang sekaligus Raim Am PBNU dalam menyelesaikan berbagai problematika negara akhir-akhir ini. Semisal, kasus tuntutan penistaan agama pada Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), penerbitan Perppu No. 2 Tahun 2017 tentang Ormas, bahkan pencabutan kebijakan Full Day School juga atas desakan sang Rais Am sebagai representasi masyarakat NU.
Raim Am PBNU diposisikan laksana penasehat kepresidenan. Tak jarang pendapatnya menjadi pertimbangan utama presiden dalam mengambil kebijakan. Semuanya seakan menjadi simbol yang sengaja dibuat masif tehadap publik, bahwa NU dan presiden (Jkw) adalah satu padu. Besar harapan, Warga Nahdhiyyin (red. Masyarakat Nu) akan tergiring dengan sendirinya untuk mendukung presiden (Jkw) dalam kontestasi pemilu 2019, menuju RI 1 untuk yang kedua kalinya.
Barometer Politik
Sudah menjadi konsekuensi logis, jika NU dipersepsikan sebagai komoditas politik. Komoditas yang senantiasa diperebutkan oleh pemangku kepentingan negeri. Eksistensi NU menjadi magnet tersendiri dalam kancah perpolitikan negeri. Pasalnya, NU masih menyandang predikat sebagai organisasi masyarakat terbesar di Indonesia hingga saat ini. Siapapun yang berhasil meraih dukungan penuh Warga Nahdhiyyin, hampir dipastikan calon tersebut akan keluar sebagai pemenangnya. Meski dalam satu dekade terakhir, belum ada kontestan pemilu yang berhasil meraih dukungan penuh NU baik dari kalangan struktural (elit) maupun kultural.
Berbicara NU, begitu erat kaitannya dengan Jawa Timur. Keduanya memilki hubungan historis yang tidak dapat dipisahkan, ibarat dua sisi mata uang yang bersatu menjadi sebuah entitas. Jawa Timur merupakan tempat lahirnya NU, sekaligus sebagai provinsi dengan basis Warga NU terbesar di Indonesia. Barangkali sangat wajar manakala Jawa Timur dinilai sebagai kunci dalam memenangkan kontestasi politik.
Berkaca pada hasil survei (Indikator), Jawa Barat memperoleh predikat sebagai barometer politik nasional dalam pemilu 2009. Predikat itu disematkan atas dasar kesamaan hasil yang diperoleh antara hasil suara nasional dengan Jawa Barat. Sementara pada perhelatan pemilu 2014, Jawa Timur menggeser Jawa Barat sebagai penyandang predikat barometer politik nasional. Hal itu dibuktikan dengan perolehan suara Jokowi yang hanya menang tipis, dengan kisaran 5% atas Prabowo. Persentase perolehan suara keduanya hampir sama, antara di Jawa Timur dan nasional.
Fakta ini kemudian membuka kesadaran bersama, terkhusus bagi para calon dalam merebut hati masyarakat Jawa Timur. Berbagai upayapun dilakukan, tidak terkecuali kunjungan presiden beberapa hari yang lalu. Hal ini menjadi sinyal kuat, presiden (Jkw) akan maju kembali dalam pemilu 2019. Apalagi akhir-akhir ini, ada beberapa partai politik yang secara deklaratif telah menyatakan diri untuk kembali mengusung Jokowi pada pemilu berikutnya. Kehadiran calon incumbent ini sangat potensial untuk kian memperkokoh status Jawa Timur sebagai barometer politik nasional.
Potensi Blunder
Asa calon incumbent untuk terpilih kembali akan sulit terealisasi, jika NU sebatas dipersepsikan sebagai entitas stuktrural. Pendekatan yang dilakukan terhadap para elit NU belumlah cukup untuk dapat meraih kemenangan, bahkan itu dapat menjadi blunder politik yang bermuara pada kekalahan. Dukungan para elit NU tidak bisa menjadi representasi Warga Nahdhiyyin di akar rumput (non sturuktur). Ini menjadi konsepsi tak terbantahkan, karena terbangun dari fakta di lapangan, dan terjadi di berbagai tingkatan pemilu.
Patronase pemilih NU tidaklah sentralistik, melainkan desentralistik (Burhanudin Muhtadi, 2017). Para elit bahkan sekaliber ketua umum PBNU tidak akan dapat mendekte seluruh masyarakat Nahdhiyyin di Indonesia. Setiap wilayah bahkan dalam lingkup paling kecil seperti desa, NU memiliki simpul (kunci) masing-masing. Simpul-simpul ini biasanya adalah para tokoh lokal yang memilki kewibawaan tinggi dan menjadi panutan masyarakat. Dalam kajian akademis, tokoh-tokoh lokal ini sering disebut sebagai “kiai kampung”. Para tokoh inilah yang kemudian menjadi penentu ke mana arah pilihan masyarakat NU dilabuhkan.
Oleh sebab itu, pendekatan kepada tokoh lokal (kiai kampung) begitu penting untuk dibangun. Para calon (termasuk incumbent) sudah saatnya melakukan pemetaan ulang dalam rangka menemukan simpul-simpul NU di setiap wilayah. Keberhasilan meraih simpati para tokoh lokal (kiai kampung) lebih menjanjikan ketimbang hanya fokus pada jajaran elit NU. Petuah-petuah mereka akan didengar dan diikuti, tetapi tidak dengan para elit yang dinilai kerapkali absen di tengah-tengah masyarakat.
Kirim Komentar