Muhasabah Diri

Doc. Redaksi

BULETIN KRITIS, BONDOWOSO- Pendidikan pada zaman ini memang menjadi kebutuhan bagi setiap insan akademisi untuk mencari jati diri dengan cara memburu dan menyelam pada lautan ilmu yang seluas-luasnya, karena pendidikan disepakati memiliki peran besar dalam penyediaan SDM. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka akan semakin besar peluang seseorang untuk meningkatkan kualitas daya saing mereka. Beberapa ahli memandang, pendidikan bukan hanya sebagai variable tertentu dari munculnya SDM yang berdaya saing tinggi tetapi juga ikut menentukan terjadinya perubahan social (al-taghayyar al-ijtima’I al-ijaby).

Oleh karena itu pendidikan yang sejatinya manjadi jembatan bagi kita malah kini menjadi pasar bagi mereka yang menyalurkan nafsu kepentingan, jabatan, dan bisnisnya didalam pendidikan yang ada. Sehingga kata “Cepat Lulus” menjadi kata kunci yang sering dikemukakan oleh para mahasiswa. Tiada lain alasan yang paling dominan dan sering muncul adalah biaya kuliah yang mahal dan ingin segera kerja menghasilkan uang. Nah ini yang kemudian Pendidikan yang pada awalnya menjadi jembatan untuk membuang kebodohan kemudian menjadi suatu tempat yang keberadaannya hanya dijadikan sebagai sarana untuk menjadi sukses tanpa belajar, menjadi sarjana tanpa ilmu-ilmunya. Maka hal ini ditegaskan oleh James Marcus Bach dalam bukunya: “Pendidikan bukanlah setumpuk fakta. Bukan pula jam-jam yang dihabiskan diruang-ruang kelas, atau bagaimana menjawab pertanyaan-pertanyaan ujian. Pendidikan bukan indoktrinasi, atau memuja para leluhur, atau petuah pada yang berwenang. Bukan juga memercayai begitu saja kata-kata siapapun tentang apa yang benar, yang salah, yang penting, dan lazim.

Selain itu kebanyakan dari kita dalam melakoni sebuah jenjang pendidikan terkadang hanya sekedar untuk mencapai sesuatu yang semestinya bukan menjadi tujuan utama pendidikan. Salah satunya adalah telah disibukkannya berlomba-lomba mendapakan tunjangan pendidikan (Beasiswa) sehingga kita lupa bahwa tujuan kita belajar hanya untuk mengkaji dan mendalami ilmu pengetahuan, padahal kita harus menyadari dan memahami secara ikhlas dan penuh keinsafan bahwa kita sebenarnya bukanlah merupakan orang yang paling layak untuk mendapat pemberian semacam itu. 
Lalu apa yang semestinya kita lakukan sebagai seorang pelajar? Langkah pertama adalah menata kembali niat awal kita belajar dan menempuh pendidikan, niati semua proses ini dengan tujuan yang sangat mulia yaitu belajar. Tanpa diselingi oleh niat-niat yang lain yang bisa menanggalkan niat utama kita. Sebab Rasulullah mewajibkan kita selaku orang islam untuk menuntut ilmu dari lahir hingga masuk ke liang lahat. 
Selain itu perlu juga disadari bahwa tujuan orang belajar bukan untuk menjadi pintar, tapi menjadi baik. Untuk apa kita pandai berdialektika, mengerti berbagai macam bidang ilmu, menguasai berbagai bahasa, tapi tidak baik? Tentu kepandaian ilmu pengetahuan tanpa diimbangi dengan ilmu tingkah laku maka justru akan menjadi jembatan bagi pemiliknya celaka. Disadari atau tidak, para koruptor itu adalah orang-orang yang pintar ketika Ia sekolah, tapi kenapa ketika dia menjabat dan mengemban amanah malah menjadi seorang pencuri? Tentunya kita semua tau bahwa tidak cukup kita menjadi orang yang pandai, oleh karena itu Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadits yang artinyaa “paling utamanya ilmu adalah ilmu tingkah laku.

(Agama tanpa ilmu Pincang - Ilmu tanpa agama Buta)

Penulis: M.N. Fadli
Editor : Tim Redaksi
Diberdayakan oleh Blogger.