MEMBUMIKAN SIKAP TASAWUF DALAM JABATAN POLITIK
Bondowso, Buletin Kritis-Negara Indonesia jika dilihat dari usia terbentukknya masih tergolong muda, belum genap satu abad dihitung sejak 17 Agustus 1945 pada saat proklamasi kemerdekaan di bacakan oleh Soekarno hingga sekarang 2018, namun Indonesia berhasil maju ke pentas dunia menjadi Negara yang percaya diri dengan perkembangan yang sangat pesat.
Bangsa indoensia secara kependudukan di dominasi oleh umat muslim, secara persentasi pupulasi umat muslim indoensia masih menempati teratas dibanding dengan penganut agama lainnya, yaitu 222 juta jumlah umat Muslim Indonesia atau 87% dari total jumlah penduduk Indonesia, oleh karena itu tidak salah apa yang di sampaikan oleh kiai Mustofa Bisri (Gus Mus), beliau mengatakan “Umat Islam di Indonesia marupakan umat terbesar, apabila Negara ini jaya, maka umat Islam-lah yang pertama harus bersyukur kepada Allah, sebaliknya jika Negara ini terpuruk, maka umat Islam-lah yang berhak menanggung dosanya”, perkataan Gus Mus tersebut merupakan bentuk introspeksi diri kepada kita semua seluruh umat Islam yang ada di Indonesia, memang keawajiban kita selaku umat mayoritas melindungi umat yang minoritas secara kenegaraan, sebaliknya umat yang minoritas yang di lindungi oleh umat mayoritas juga menghargai umat mayoritas yang meberian perlindungan, jika hal itu terjadi maka, kerukunan antar umat beragama di negeri ini akan tercipta, tidak saling menjelekkan dan saling adu domba.
Cukuplah paragrap diatas sebagai pengantar tulisan ini secara umum, kita fokus pada kondisi Indonesia saat ini utamanya sorotan dalam kondisi politik, beberapa kegaduhan politik yang akhir-akhir ini terjadi di Negara ini menjadikan Negara hampir mendekati pada kekacauan seperti tahun 1998 silam, kita patut bersyukur para tokoh agama dcan tokoh masyarakat di negari ini masih bisa memberikan pencerahan terhadap golongan sumbu pendek, sehingga indikasi konflik horizontal bisa teratasi dengan aman dan damai. Jika mengacu pada dawuh kiai Maimun Zubair masyarakat Indonesia diperkirakan keturunan nabi Nuh dari jalur Yafit, putra nabi Nuh yang bernama Yafit ini merupakan putra yang paling Santun dan ramah, maka tidak salah ketika kita mengenal adat ketimuran adalah adat keindonesiaan yang terkenal santun. Masyarakat Indonesia dikenal masyarakat yang sangat berbeda dengan masyarakat dunia lainnya, Indonesia secara karakter memang tidak menyukai konflik yang berbau darah, itu tercatat dalam sejarah penaklukan beberapa kerajaan olah Majapahit, tidak selalu dengan konflik berdarah, pendekatan musyawarah dan loby selalu dikedepankan, termasuk cikal bakal dibacakannya teks proklamasi oleh Soekarno juga di lalui dengan jalur loby-loby terhadap penjajah Jepang dan Belanda pada saat itu. Dengan duduk di suatu meja maka ketegagan yang akan menjadi reda.
Saya (penulis) pernah membaca sebuah kisah dari bapak Alwi Shihab, beliau ketika di Amerika Serikat pernah berdampingan dengan orang yang menganut agama Yahudi, tiap hari bapak Alwi Shihab pada musim dingin selalu membersihkan salju di depan rumahnya, termasuk depan rumah si Yahudi tadi, kemudian suatu hari si Yahudi itu berkata pada bapak Alwi, “kenapa kamu sukarela membersihkan pekarangan saya, padahal kamu bukan kerabat saya dan kita tidak seagama?” Kemudian bapak Alwi menjawabnya, “karena Agama saya (islam) mengajarkan begitu”, kemudian si Yaudi tadi bertanya lagi, “kamu berasal dari Negara mena?”, bapak Alwi menjawab, “saya berasal dari Indonesia”, lalu si Yahudi tadi berkata lagi, “kalo begitu kamu melakukan ini bukan kerena Agamamu (islam), itu karena kamu adalah orang Indonesia”. Ini menunjukkan bahwa perilaku bangsa kita diperhitungan secara akhlaq oleh masyarakat dunia, kita dikenal ramah dan santun, kalaupun sekarang ada pihak-pihak yang mengatasnamakan agama dengan melakukan kerusakan maka itu sangat salah, dan salah tempat jika di lakukan di Indonesia. Kultur kita tidak membenarkan dan tidak menghendaki pertikaian hanya persoalan faham dan persoalan politik semata, kita kaum ketimuran lebih suka pada kerukunan.
Selain memang secara natural kultur budaya kita mengenal kerukunan dan perdamian, ajaran semua agama yang berdiri sah di Negara ini juga menghendaki demikian, agama Islam terutamanya yang secara ajaran mengajarkan akhlaq al karimah dan toleransi bersosial serta cinta perdamaian, seharusnya juga tercermin dalam semua aspek, prinsip agama Rahmatan Lil Alamin seharusnya bukan hanya terucap dalam bibir, namun harus ternam dalam hati dan teraplikasi dalam perbuatan, maka tidak salah jika ada yang berkata, “islam rahmatan lil alamin adakah?”, tentu menjawab pertanyaan itu kita harus bisa menempatkan pada sebuah konteks yang terjadi, jika kita umat Islam selaku umat mayoritas berperilaku tidak meghormati golongan lain, maka label rahmatan lil alamain hanya sebuah jargon semata. Secara jaran agama Islam memang mengajarkan rahmatan lil alamin, namun juga merupakan kewajiban kita menunjukkan dalam perbuatan keseharian kepada golongan lain bahwa rahmatan lil alamin itu memang ada dan itu masih bersemi dalam diri umat Islam hingga sekarang. Kita umat islam Indonesia harus bisa memberikan gambaran bahwa inilah islam, sama halnya umat Nasrani da Yahudi madinah pada jaman Rasulullah Muhammad SAW, ketika berkata, seperti apakah Islam?, maka para sahabat akan berkata seperti perilaku Muhammad itulah Islam, artinya umat lain tidak menghendaki sebuah jargon semata, umat lain membutuhkan bukti nyata bahwa kita bisa menciptakan perdamaian dalam sebuah lingkungan.
Diskusi tentang bermasyarakat ini kita akan bawa pada ranah politik, Dalam perbuatan dan pergaulan bermayarakat terutama juga dalam hal politik, hendaklah memberikan gambaran kepada khalayak umum, bahwa umat Islam bisa menjadi politisi yang bisa di jadikan rol model dalam sikap berpolitik. Agama Islam bukanlah agama yang kaku, yang anti terhadap perkembangan ilmu atau perkembangan peradaban, teruatama tentang ilmu politik, islam merupakan agama yang memiliki prinsip sendiri juga memiliki sikap yang dinamis, selama itu masih ada kesesuai dengan prinsip dasar Islam yaitu Keadilan dan Perdamian serta Kejujuran, oleh karena itu islam juga tidak anti terhadap demokrasi yang dinilai merupakan paham barat, “undzur maqolah, wala tandzun man qola” artinya melihat apa yang di katakan, tidak melihat siapa yang mengatakan itu sangat tepat dalam prinsip seorang muslim, jangan karena kita umat Islam yang mengenal Jenggot dan Sorban lalu bercita-bercita mendirikan Negara dan merubah sistem pemerintahan dengan sebutan Islamiyah, seperti Khilafah dan Syari’ah, islam tidak bisa diukur dari sebuah label semata, bukankah yang berjenggot dan bersorban juga dilakukan oleh Abu Jahal dan Abu Lahab?, kita umat Islam tidak kaku seperti yang di alami oleh Galileo Haliley, yang mengatakan bumi itu bulat, lalu kemudian di hukum mati oleh tokoh agamanya, karena paham itu bertentangan dengan paham kitab sucinya yang mengatakan bumi itu datar.
Dunia perpolitikan yang terjadi saat ini telah mengalami degradasi yang sangat terjal, beberapa kasus yang terungkap terhadap pola hidup hedon dari para politisi yang menyebabkan kepercayaan masyarakat terhadap politik makin menipis, dan pola itulah yang menjadikan jauh dari adat ketimuran, politik transaksional dan perilaku koruptif serta nepotis menjadikan beberapa kalangan mengalami kesengsaraan karena tidak mampu dalam kompetisi dari segi modal, akibat dari itu nilai keadilan semakin di kesampingkan, maka sangat tepat tulisan ini jika di pahami pada konteks sekarang, karena tahun ini merupakan tahun pesta demokrasi, pesta pemilihan kepada daerah, dan tahun depan 2019 merupakan pemilihan umum legislatif dan pemilihan pesiden secara bersamaan, sangat tepat sebagai renungan buat kita semua yang berkiprah dalam dunia politik, selaku anak bangsa saling mengingatkan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai mulia terhadap masyarakat.
Oleh kerena itu, kita dalam berpolitik sangat perlu memahami tentang beberapa sikap yang diajarkan oleh para sufi, sebagai bahan dalam berpola hidup yang ideal, dan sifat kesufian ini bisa diterapkan dalam diri kita dalam berpolitik, agar terhindar dari sifat terlana dalam mengemban jabatan kelak. Sifat-sifat para sufi adalah :
1. Seseorang yang merasa dirinya hina
2. Menahan dan memerangi hawa nafsunya
3. Memberi nasehat kepada mahluk
4. Selalu mendekatkan diri kepada Allah
5. Berperilaku bijaksana
6. Menjauhi berandai-andai (berangan-angan terlalu tinggi dalam hal duniawi)
7. Tidak mau mencela
8. Mencegah perbuatan dosa
9. Waktu luangnya digunakan untuk beribadah
10. Susahnya sengaja di buat-buat (karena memang seorang sufi itu terhindar dari berbagai macam kesedihan dan kesusahan duniawiyah)
11. Hidupnya sederhana
12. Arif terhadap sesuatu yang benar
13. Mengasingkan diri dan mencegah dari segala sesuatu yang sia-sia.
Jika sifat kesufian ini tertanam dalam diri kita, maka rahmatan lil alamin dalam diri kita adan tercipa dengan sendirinya, memang tidak semua rincian sifat yang dipampang diatas dapat kita laksanakan semua, paling tidak beberapa persen atau paling tidak memilki tekad untuk berpola hidup sederhana, jika itu terjadi, saya yakin rasa keadilan dan ketertiban di masyarakat secara luas akan tercipta, dan kemakmuran masyarakat akan tercapai dengan mudah, paling tidak dalam lingkungan sekitar akan merasakan adanya Rahmatan Lil Alamin tadi.
Teringat pada lagu Roma Irama yang berjudul Taqwa, “Yang kaya janganlah bangga, dan jangan busungkan dada, derajat manusia disisi tuhannya, bukan karena hartanya, derajat manusia disisi tuhannya itu karena taqwanya”, artinya jabatan dan pangkat itu merupakan sebuah ujian bagi kita semua, jangan karena punya jabatan lalu membusungkan dada.
Agar Dapat kita mejadikan sebuah pelajaran, sesungguhnya telah berlalu sebelum kita orang-orang yang memiliki kekuasaan besar namun sombong, kemudian di runtuhkan oleh Allah swt, dan dihinakan, tentu kita berharap semua itu tidak menimpa kita, cukuplan mengambil pelajaran orang-orang terdahulu sebagai bahan muhasabah diri dalam mengemban jabatan yang di amanatkan kepada kita.
Harapannya secara khusus tulisan ini akan menjadi bacaan wajib bagi saudara kita para politisi dari kalangan umat Islam, agar lebih memperhatikan nilai-nilai sosial yang telah diajarkan dalam agama Islam, selain daripada itu akan menjadi sebuah rasa syukur yang tak terhingga, tulisan ini juga dibaca oleh politisi yang juga beragama lain, karena niat dalam tulisan ini adalah meraih kemakmuran bersama terhadap masyarakat atas peran para politisi yang sedang mengembang amanat masyarakat. Kami masyarakat kecil sangat percaya kepada para pejabat yang sekarang memang ditakdirkan untuk memimpin kami.
* Profil Penulis : Ayopri Al Jufri
1. Alumni STAIN Jember (IAIN Sekarang)
2. Pembina YAYASAN ISLAM NUSANTARA BERKEMAJUAN,
Sekretariat Dusun Sletreng RT 04 / RW 02, Desa Kupang, Curahdami, Bondowoso
3. Pengawas di Yayasan Yatim Piatu dan Duafa AZ-ZAHRO, Locare Bondowoso
4. Anggota Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Adikara Pancasila Indonesia (API)
5. Anggota ANSOR Bondowoso
Kirim Komentar