TEORI DEMOKRASI HINGGA TRANSAKSI










Bondowoso, Buletin Kritis-Belajar ilmu politik secara ideal, maka kita akan di suguhkan pada sebuah teori-teori yang sangat mapan  dalam menata kenegaraan, pada intinya ilmu politik mengajarkan kepada kita akan pentingnya penanaman sebuah idiologi, sedangkan partai politik secara pengertian adalah sekumpulan orang yang  mempunyai kehendak yang sama dalam menyusun sebuah ideologi bersama. Jadi dapat kita pahami bersama bahwa politik adalah sebuah langkah menuju idologi bersama dalam sebuah sekumpulan manusia, sedangkan partai politik adalah wadah manusia dalam menanamkan idiologi bersama.

Kenyataan di lapangan, sungguh sangat berbeda, pada konteks sekarang, idealisme idiolodi dalam sebuah partai politik sudah mengalami degradasi, idealisme idiologi sekarang sudah mengarah pada sesuatu yang bersifat transaksional, idologi yang seharusnya di junjung justru sekarang telah mulai hanya bersifat slogan semata, kasus yang terungkap adalah masalah isyu mahar politik yang mana telah menjadi rahasia  umum, dimana seorang calon harus mempersiapkan uang ratusan milyar jika  ingin menjadi penguasa dalam suatu daerah. Oleh karena itu tidak salah apa yang di katakana oleh Wakil Presdien RI bapak Jusuf Kalla, beliau mengatakan “Harga Demokrasi di Indonesia  Terlalu Mahal”, pernyataan itu diungkapkan oleh beliau kerena adanya rasa prihatin terhadap banyaknya kepala daerah yang tersangkut korupsi.

Pada awalnya ilmu politik memang mengajarkan sebuah perebutan kekuasaan secara konstitusional, yaitu mengedepankan tata aturan yang telah berlaku, namun hal itu hanyalah sebuah teori, dan itu hanya tercatat dalam buku  saja, di lapangan berkata tidak demikian, bisa dikatakan politisi ulung manakala dia bisa bersilat pilitik, tentunya hampir mirip dengan bersilat lidah.

 Makanya ketika bapak Mahfud MD pensiun dari jabatan mentri masa Gus Dur, kemudian beliau mohon ijin kepada Gus Dur mencalonkan diri sebagai anggota DPR RI mewakili dapil Madura tempat kelahiran beliau, namun justru Gus Dur menolaknya dan menyarankan beliau tidak mencalonkan diri, Gus Dur berkata “Kamu tidak cocok jadi DPR”, kemudian pak Mahfud menyanggahnya, lalu memang kenapa Gus? Tanya pak Mahfud, Gus Dur menjawabnya “Kamu Terlalu Jujur Untuk  Jadi DPR, ada tiga orang yang tidak boleh jadi DPR kader saya, yaitu kamu (Mahfud MD), Khofifah Indar Parawansa, dan Alwi Shihab”, keterangan ini saya (penulis) dapat dalam buku biografi Mahfud MD berjudul “Terus Mengalir” yang di tulis oleh ibu Triana Budiarti, dan pernyataan tersebut dibenarkan oleh  bapak Mahfud MD secara lisan kepada saya sewaktu mengisi Khalaqoh Santri yang diselenggarakan oleh GP ANSOR Bondowoso di pendopo Bupati Bondowoso beberapa waktu lalu.

Kata-kata lain yang juga merupakan sindiran politik dari Gus Dur adalah dimana beliau jadi presiden tidak mengelurkan modal sepeserpun “Saya Jadi Presiden Hanya Bermodal Dengkul, Itupun Dengkulnya Amin Rais”, kalimat itu secara tidak langsung menyiratkan bahwa dalam perpolitikan itu memerlukan modal jika ingin menang, dan hal itu bukanlah sebuah Gosip semata memang benar adanya, ayo kita buktikan, dalam sebuah pemilihan Kepala  Desa saja misalnya memerlukan biaya besar, jika hak pilih warga mencapai 5000 orang maka perkiraan biaya yang harus di keluarkan berkisar 500 juta rupiah, itu sudah paket hemat, biaya itu untuk mencetak bener, biaya tim sukses, biaya pencitraan berupa sumbangan warga, biaya konsumsi sehari-hari di tiap posko pemenangan dan biaya lain yang bersifat rahasia. Hal itu sangat menunjukkan bahwa kebenaran perkataan bapak Jusuf Kallah “Harga Demokrasi di Indonesia Sangat Mahal”, lalu kita aka berkata Indonesia bebas dari korupsi? Sungguh target itu jauh dari harapan, sekarang ini  Indonesia hanya bisa mencapai tingkatan menakut-nakuti koruptor, semakin banyak yang di tangkap dalam tindak korupsi, maka semakin tumbuh lebih banyak keder penerusnya, istilahnya hilang satu, tumbuh seribu. Kita tidak bisa menyalahkan sistem, sistem kita dalam politik memang sudah ideal adanya dan sudah sangat bagus  dalam menata keteraturan politik, namun penyimpangan itu mengalir terjadi di lapangan, mengingat sengitnya dalam sebuah persaingan, maka money politik tidak bisa di hindarkan.

Terkait kajian politik secara ideal di negara ini, telah sangat banyak diselenggarakan seperti Seminar, Bedah Buku bahkan pelatihan-pelatihan perpolitikan, namun hal itu hanya sebuah diskusi saja, atau hanya untuk memperoleh sertifikat penghargaan semata. Tidak penting membeberkan beberapa kasus penyimpangan pilitik disini, dan tidak perlu juga banyak pampang data Bawaslu dan data ICW dalam bentuk pelanggaran Pemilu dan pelanggarakan tidak korupsi para kepala daerah dan DPR.

 Mungkin sekali lagi kata-kata Gus Dur benar, beliau mengatakan “DPR seperti anak TK”, selalu meminta dinina bobokan, tentu tulisan saya  ini tidak menyasar kepada seluruh anggota DPR, walaupun banyak kita dengar dan saksikan di media berita tentang citra DPR dan pejabat banyak yang melangar, namun tentunya masih banyak juga para pejabat kita yang masih memiliki  hati nurani membela rakyat, walaupun jumlahnya sangat sedikit, dan biasanya yang terlalu jujur itu tidak awet jabatannya.

Melihat kondisi politik yang kian hari seperti sebuah tontonan sandiwara, teringat lirik lagu Ahmad Albar “Dunia Ini Adalah Panggug Sandiwara”, semua hanyalah sebuah permainan tidak ada yang serius, dan kesungguhannya hanya bersifap pencitraan. Padalah menurut Agus Salim “Memimpin Itu Menderita”, sekali lagi kata-kata itu hanya indah dalam kalimat, pahit dalam kenyataan, banyak pejabat kita temukan setelah tertangkap oleh penegak hukum terbogkar kemewahan kendaraan yang dimiliki, rumah mewah bahkan sampai koleksi istri yang cantik-cantik bahkan muda-muda dan seksi.

Tentu tulisan saya tidak bermaksud menyindir pihak siapapaun, tulisan ini merupakan keluh kesah dari seorang rakyat kecil yang peduli kepada sesama warga kecil di bawah juga akan nasib Negara di masa mendatang, dan saya tidak merasa jadi orang yang paling bersih dan jujur, saya juga manusia biasa tentunya  tidak bisa lepas dari Khilaf dan Salah, dan saya pribadi belum pernah merasakan menjadi pejabat Negara, mendengar beberapa kesaksian mantan pejabat saya pribadi merasa ngeri untuk menjadi pejabat, bapak Mahfud MD pernah mengatakan bahwa dirinya tidak pernah takut berkata benar, karena sewaktu menjadi pejabat mulai Mentri, Anggota DPR hingga Ketua Mahkamah Konstitusi memang tidak pernah mengambil uang dari jabatannya di luar hak-nya, makanya setelah pensiun tetep konsisten menegakkan kebenaran, dan tidak takut kasus masa lalunya diungkap, karena memang tidak punya kasus masa lalu. Berbeda dengan pejabat yang sudah punya kesalahan masa lalu, setelah pensiun dia memilih diam, Karena takut kasusnya diungkap ke publik oleh lawan-nya.


* Profil Penulis : Ayopri Aljufri
1. Alumni STAIN Jember (IAIN Sekarang)
2. Pembina YAYASAN ISLAM NUSANTARA BERKEMAJUAN,
Sekretariat Dusun Sletreng RT 04 / RW 02, Desa Kupang, Curahdami, Bondowoso
3. Pengawas di Yayasan Yatim Piatu dan Duafa AZ-ZAHRO, Locare Bondowoso
4. Anggota Lembaga Bantuan Hukum  (LBH) Adikara Pancasila Indonesia (API)
5. Anggota ANSOR Bondowoso
Diberdayakan oleh Blogger.