Shalat Tarawih: Antara Panggilan Jiwa dengan Tuntutan Budaya
Geliat masyarakat desa untuk shalat tarawih pada malam pertama patut diacungkan dua jempol. Mengapa tidak karena pada malam pertama ini masyarakat desa merasa harus pergi ke surau, musholla atau masjid untuk menunaikan malam pertama ramadhan yang diawali dengan sholat tarawih. Hal tersebut bagi masyarakat desa bisa jadi panggilan jiwa/kewajiban yang telah menjadi kebutuhan untuk dijalankan karena keesokan harinya kali pertama berpuasa. Tidak bisa dinafikkan apabila musolla tempat tarawih full jamaahnya. Yang menarik adalah ketika awal awal bulan ramadhan jamaah tarawih banyak, tetapi pada hari hari berikutnya mengalami penurunan. Formasi shaf jamaah tarawih masyarakat desa tak urung dikatakan seperti tubuh tikus semakin kebelakang semakin pendek. (Dari tubuh ke ekor)
Jumlah jamaah pada hari kedua ketiga hingga kelima masih stagnan. Kemudian setelahnya, jumlah jamaah bisa dikatakan mengalami penurunan. Dari empat shof menjadi tiga setengah shof, tiga shof hingga dua shof Fenomena ini kemudian perlu dipertanyakan apakah masyarakat desa benar benar niat untu beribadah sunnah solat tarawih atau hanya sebuah bentuk pencitraan dalam menjalani status bulan Ramadhan atau bahkan hanya ikut ikutan.
Ketika berbicara bulan Ramadhan tentu ada perkara wajib yakni berpuasa dan membayar zakat. Disamping itu terdapat amalan amalan sunnah lainnya selain sholat tarawih seperti tadarus, berinfak dan sebgainya. Ramadhan adalah bulan ke sembilan di tahun hijriah yang kemudian dilanjutkan dengan bulan syawal. Setelah berpuasa ramadhan sudah pasti akan berlebaran/ merayakan hari raya. Kebiasaan yang ada di masyarakat sebelum lebaran ialah membuat kue lebaran, belanja baju untuk lebaran, berkunjung ke rumah saudara sanak famili dan masih banyak lainnya. Hal itu merupakan beberapa faktor semakin berkurangnya jamaah solat tarawih setiap malamnya.
Jamaah tarawih yang mampu bertahan ialah dia yang memang lillah mengerjakan sholat tarawih. Tidak akan terpengaruh kepada budaya yang dikonstruk oleh masyarakat desa. Dimana budaya tersebut sebetulnya bisa dijadikan nomer dua setelah perkara yang betul betul harus diprioritaskan. Perbandingan antara yang mampu bertahan dengan yang gugur di tengah jalan bagi jamaah tarawih masyarakat desa yaitu 2 banding 6.
Beberapa keterangan mengatakn Allah akan melipatgandakan pahala amalan baik di bulan ramadhan. Jika mengerjakan amalan sunnah di bulan ramadhan pahalanya bagai mengerjakan amalan wajib pada bulan selain romadhan. Bayangkan saja, Allah telah menjanjikan sedemikian rupa. Namun masyarakat justru tidak lebih percaya pada pahala yang sifatnya abstrak, sedangkan jika dihadapkan pada ocehan masyarakat justru lebih memanas dan biasanya tidak terima akan buah bibir yang terjadi.
Hal tersebut membuktikan budaya yang ada lebih berwewenang(di atas segalanya). Masyarakat desa lebih percaya pada kebiasaan yang dibentuk dan disepakati bersama dan tak afdhal jika ditinggalkan. Jika ditinggal maka akan kembali pada cibiran tadi.
Maka dari itu penting kiranya penyadaran pada masyarakat desa untuk lebih memprioritaskn hal yang penting pada bulan Ramadhan, apalagi telah dijanjikan upah yang berlipat ganda.
(Yulia)
Kirim Komentar