Konten Opini berjudul Senior 212, "Meaningless"


Bondowoso, IKMPB- Cukup terngiang membaca dan memahami tulisan “Senior 212”. Katakan “lumayan” lah pada aspek penyusunan kalimat tapi tidak pada kontennya yang miskin makna (meaningless). Tampak sekali, kontennya begitu menebar kebencian. Kebencian kepada beberapa orang yang kemudian digeneralisir dan dibungkus dengan label senior. Namun, Persaudaraan Alumni 212 yang dilabelkan seakan senjata makan tuan. Justru penebar kebencian itulah yang mirip dengan PA 212.

Tulisan sejatinya menghadirkan pencerahan bagi pembaca (updating konwledge). Ia menjadi lampion atas gelapnya kebodohan, mengandung nilai-nilai luhur, dan tentu menjadi rujukan sudut pandang bagi pembaca dalam menelaah problematika sosial. Sudut pandang yang dimaksud, yakni lahir dari proses berifikir filosofis, berangkat dari bangunan epistemologi, bukan atas dasar kebenciaan (emosional) person to person. Tulisan dengan konten kebencian tidak layak dikonsumsi oleh publik, tidak menyehatkan fikiran, justru menjadi virus yang menggerogoti hati dan jiwa pembaca.

Era keberlimpahan informasi membuat kebanyakan orang semakin jauh dari buku. Buku kian terpinggirkan sebagai obat mujarrab menajamkan pikiran. Asupan gizi otak diisi dengan potongan wacana semata yang berlalu-lalang di media sosial dan kerapkali antara satu dengan lainnya tidak berkorelasi. Sifatnya yang parsial membuat produk pemikiran yang lahir tidak utuh dalam memahami suatu persoalan.

Orang yang menjadikan medsos sebagai asupan utama otak akan cenderung dangkal dalam berfikir, tidak memiliki orisinalitas pemikiran dan struktur berfikir sistematis, serta ambigu dalam membuat analogi-analogi. Premis yang dibangun tak berkorelasi akibat analogi yang ke mana-mana. Sulit diterima oleh logika. Sehingga tulisan yang dihasilkan tak memiliki nilai (value), kropos secara epistemologis, serta rangkaian kalimat dan paragrafnya tidak sistematis.


Tulisan adalah cerminan isi fikiran seseorang. Analogi PA 212, istri dua (poligami), diksi pemasaran, wacana TSM dan rekonsiliasi, operasi pelastik, dan sebagainya itu laksana makanan campursari yang tak memiliki orisinalitas rasa. Maknanya menjadi kabur, tak berkorelasi satu dengan lainnya, bahkan yang parah adalah menyamakan diksi-diksi politis tersebut dengan konsep dan kerangka organisasi.

Hal demikian adalah pola pikir yang sangat simplistic. Terlalu sederhana memandang kerangka organisasi dengan analogi-analogi tersebut. Apalagi generalisasi yang dibangun telah menyamaratakan semua, memposisikan diri sebagai representasi kelompok yang membawa konsensus bersama.

Beberapa diksi di atas cukup menjadi indikasi dalil, tulisan “Senior 212” dipengaruhi oleh wacana-wacana politik mutaakhir. Isu-isu yang mencuat dari menjelang sampai pasca pemilu diakumulasi dan dijadikan sudut pandang. Mencari titik persamaan pada sesuatu yang beda konteks. Akibatnya mengawang-ngawang dan tidak jelas bangunan idenya karena tidak fokus pada satu sudut pandang.


Tak ada yang bisa menggatikan buku. Buku didesain dengan konten yang sistematis, terstruktur, serta pemahaman yang komprehensif. Selain itu, ide/gagasan sebuah buku lahir dari analisis mendalam terhadap fakta sosial baik secara lapang maupun pustaka. Membaca buku memperkaya diksi serta paham di mana konteks penggunaannya. Membaca buku dapat membangun struktur berfikir logis-sistematis, utuh dan komprehensif. Dengannya, tulisan yang dihasilkan tak kabur makna dan memiliki landasan epistemologi yang kuat.

"Mari perbanyak baca buku, bukan baca medsos ataupun mengasupi otak dengan diskursus-diskursus yang tayang di youtube. Mohon maaf, apabila ada yang tidak berkenan di hati". Khairul Anwar
Diberdayakan oleh Blogger.